Calon Gubernur DKI Jakarta Ridwan Kamil punya rencana ambisius. Salah satunya, membangun infrastruktur raksasa untuk menahan banjir atau giant sea wall di Jakarta Utara. Dia bilang, proyek itu bakal membuat Jakarta Utara serupa Dubai.
Mantan Gubernur Jawa Barat yang berpasangan dengan politikus PKS Suswono dalam Pilgub DKI Jakarta itu pun mengaku punya 70 lebih gagasan untuk menyelesaikan masalah macet, polusi, banjir, dan sebagainya, jika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Untuk mengatasi kemacetan, dia berjanji bakal memperbanyak rumah murah di tengah kota, dengan membangun apartemen. Nantinya, apartemen itu dibangun di atas pasar, stasiun, bahkan di jalan dengan konsep bangunan “mengangkang”.
Bukan ide baru
Pendiri dan Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menilai, tidak ada yang baru dalam ide calon gubernur yang diusung 12 partai politik itu. Sebab, apartemen di atas pasar atau dekat stasiun sudah ada di Jakarta. Misalnya di Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Ada pula pengelola apartemen yang bekerja sama dengan PT. KAI dan Perumnas.
Menurut Elisa, pengembang swasta tanpa diperintahkan, sudah dan bakal terus berusaha membangun apartemen yang dekat dengan stasiun atau dalam transit oriented development (TOD) atau kawasan berorientasi transit.
“Bahkan apartemen ‘ngangkang’ di atas sungai pernah diusulkan oleh Djan Faridz saat dia jadi Menpera (Menteri Perumahan Rakyat, 2011-2014). Dan (gagasannya) jelek serta tidak menyelesaikan masalah, justru tambah masalah,” ujar Elisa kepada Alinea.id, Jumat (30/8).
Ide membangun apartemen mengangkang di atas Kali Ciliwung, atau dikenal sebagai apartemen apung, mencuat pada 2012. Rencananya, saat itu apartemen dibangun untuk menampung warga bantaran Sungai Ciliwung.
Soal kemacetan, kata Elisa, Ridwan tidak punya rekam jejak apa pun dalam menanganinya. Menurut Elisa, masalah kemacetan dapat ditangani dengan dua strategi yang dijalankan bersamaan, yakni push (mendorong) dan pull (menarik).
Sederhananya, harus ada penyediaan transportasi massal dan batasi hak istimewa kendaraan pribadi. Ridwan dinilai Elisa, gagal selama 10 tahun memimpin Jawa Barat dalam menyediakan transportasi massal.
Elisa melanjutkan, gagasan Ridwan lainnya, yakni menyulap Jakarta Utara menjadi seperti Dubai, begitu menggelikan. Elisa menganggap, ide Ridwan menunjukkan dia sama sekali tidak memahami Kota Jakarta dan segala permasalahan utamanya.
Jangan tambah masalah
Menurut Elisa, di pusat kota, masalah utamanya itu pertanahan dan tata ruang. Sedangkan di Jakarta Utara, problem utamanya adalah penutunan muka tanah hingga kualitas lingkungan. Namun, Ridwan malah berencana membangun tanggul laut raksasa, yang justru bisa menambah penurunan muka tanah.
“Mana mengerti arsitek soal itu. Akhirnya, (nanti) cuma bisa ngecat-ngecat tembok dan atap saja, seperti yang terjadi di Bandung,” ujar Elisa.
Menelisik dari latar belakang pendidikan Ridwan, Elisa mengatakan, dia lulusan urban design, bukan urban planning. Karenanya, Elisa percaya kemampuan Ridwan selama menjadi Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat hanya sebatas “beautifikasi” alias mempercantik kota saja. Konsepnya hanya membuahkan sketsa dan maket.
Sebagai informasi, Ridwan adalah alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan gelar Sarjana Teknik di bidang arsitektur. Dia juga memperoleh gelar Master of Urban Design dari Universitas California, Berkeley.
“Kalaupun dia (Ridwan) jadi gubernur (Jakarta), saya cuma berharap saja agar dia jangan memperburuk (konsep transportasi umum) Jaklingko dan menghamburkan APBD untuk buat halte-halte ikonik yang tidak menambah jangkauan serta meningkatkan kualitas dan kuantitas transportasi massal,” kata Elisa.
Sementara itu, pengamat perkotaan Yayat Supriyatna menilai, ide Ridwan untuk Jakarta merupakan kegilaan tersendiri. Menurutnya, Jakarta memang berada dalam kondisi krisis kekurangan unit rumah. Namun, dengan membangun gedung yang lebih besar alias apartemen, justru bakal mempersempit lagi ruang di Jakarta.
Dia menyarankan, Ridwan menanyakan terlebih dahulu keinginan warga Jakarta. Bukan malah mendahulukan keinginannya. Apalagi, Yayat melihat, Jakarta diarahkan sebagai kota transit dengan banyak titik sinergi transportasi.
“Pembangunan gedung-gedung besar sih sebagai arsitek sah-sah saja, tapi manfaatnya buat siapa?” ujar dosen teknik planologi di Universitas Trisakti ini, Jumat (30/8).
Yayat mengingatkan, Ridwan jangan sampai mengulangi kesalahan pembangunan di Bandung. Misalnya, skybridge Cihampelas, yang merupakan salah satu program monumental Ridwan saat menjadi Wali Kota Bandung. Pedestrian yang mirip jembatan layang itu digagas pada 2014 dan pembangunan tahap I selesai pada 2017. Namun, sayangnya teras Cihampelas yang membentang di atas Jalan Cihampelas itu kini tak terurus dan ditinggalkan orang. https://jeo.kompas.com/teras-cihampelas-bandung-riwayatmu-kini
Selain itu, beberapa ide Ridwan, seperti membangun apartemen di tengah kota, menurut Yayat tidak dapat menyelesaikan problem kemacetan yang menjadi salah satu masalah utama warga selama ini. Terlebih gaya bekerja orang Jakarta sudah berubah, setelah pandemi.
“Jakarta ini, orang meninggalkan tengah kota sudah terasa, sudah mati beberapa tempat. Perkantoran makin kosong, mall makin kosong, Roxy, Glodok, Tanah Abang, sekarang ini berubah gaya bekerja, gaya usaha. Kalau bangun gedung, buat siapa lagi?” tutur Yayat.