Setelah pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang digelar beberapa hari lalu, sejumlah lembaga survei yang menggelar hitung cepat alias quick count menyodorkan gambaran hasil di tiap-tiap daerah.
Meski kader PDI Perjuangan hanya menang di empat provinsi dan tiga kota, namun ternyata hasil itu tetap menggambarkan posisi unggul partai berlambang banteng tersebut.
Pilkada ini memang menjadi salah satu tolok ukur atas pemilihan presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Untuk PDI Perjuangan yang telah dengan tegas mengusung Joko Widodo kembali untuk maju dalam Pemilu mendatang, tentunya menjadikan hal ini sebagai gambaran kekuatan basis suara pemilih.
Kendati partai oposisi juga memiliki hasil dari Pilkada serentak dengan cukup baik, namun Analis Politik Arif Susanto menyatakan keputusan Jokowi untuk memilih pendamping tidak bisa hanya berdasarkan hal itu. Jika calon yang diusungnya diambil dari partai oposisi, tentunya akan ada tantang tersendiri bagi Jokowi.
“Tentu akan menimbulkan kecemburuan dari partai politik lain yang punya kader merasa lebih baik, tapi juga merasa punya tabungan yang lebih besar dan berkeringat lebih dibanding yang lain,” ujar Arif, Jumat (29/6).
Sosok non partai seperti Ridwan Kamil yang dapat memenangkan suara rakyat pun dinilai belum dapat menjadi calon paling aman yang akan mendampingi Jokowi.
Menurut dia, pertimbangan pemilihan calon pendamping ini memang dihadapkan pada berbagai tantang yang akan muncul setelahnya.
“Kalau diambil dari non partai politik, ada peluang partai-partai sendiri tidak cukup fight untuk memperjuangkan, karena bukan bagian dari mereka,” tandas Arif.
Sosok Jokowi yang dianggap sebagai solidarity maker pun dirasa harus didampingi pula oleh orang yang memiliki karakteristik serupa. Bahkan, diduga pertimbangan yang sedang dihadapkan pada Jokowi di mana sang pendamping nantinya berpotensi maju pada 2024 jika memang ia kembali mendapatkan kursi orang nomor satu di Indonesia.
Sebagai pengamat Pemilu, Jeirry Sumampouw berpendapat sosok pendamping Jokowi sebaiknya datang dari luar partai politik. Hal itu dianggap lebih rasional bagi Jokowi dan juga partai politik yang mengusungnya.
“Artinya dia tidak merepresentasi partai politik. Bisa saja mantan politisi tapi tidak sedang menjadi representasi partai politik saat ini,” katanya.
Baca juga: Tiga skenario pilpres 2019, siapa ‘Kuda Hitam’?