Wacana duet Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan politisi muda Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) semakin mengemuka. Ada yang menilai duet kedua tokoh tersebut tidak pas, ada juga yang menilai akan menjadi lawan tanding yang cukup berat bagi Jokowi.
Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing berpendapat duet dengan memasangkan Prabowo dan AHY dalam wacana publik itu merupakan hal yang wajar, terutama dalam menegakkan disiplin. Dilihat dari latar belakang keduanya yang merupakan mantan orang militer, pas jika ingin menegakkan disiplin dan ketegasan.
Hanya saja dalam memimpin tidak hanya butuh pemimpin yang tegas dan disiplin, tetapi juga dibutuhkan kemampuan leadership dan manajemen dari berbagai aspek.
"Karena memimpin seorang militer itu relatif lebih gampang dibandingkan dengan memimpin sipil. Dalam militer, tidak satupun anak buah yang akan membantah perintah dari atasan," katanya kepada Alinea.id, Jumat (13/7).
Sementara, sipil dinilai sebagai sosok pemimpin yang paripurna. Sebab, mampu memimpin berbagai karakter dan perilaku manusia, organisasi dan lembaga.
Emrus juga menilai, background militer yang dimiliki oleh Prabowo dan AHY akan lebih mudah dilawan oleh lawan politiknya.
"Bisa saja dilawan dengan isu militerisasi, walaupun sebenarnya mereka bukan militer lagi. Maka itu, saya berpandangan pasangan ini akan lebih mudah dikalahkan oleh lawan politiknya," katanya.
Lebih lanjut Emrus menyatakan dalam memilih pasangan calon untuk bertarung dalam pemilihan presiden, sebaiknya wakil yang dipilih adalah sosok yang mampu mengisi kekurangan capresnya. Karena dalam Pilpres yang diharapkan bisa memenangkan pertarungan, maka jangan sampai ada kekurangan. Sebaliknya, justru seharusnya saling melengkapi.
"Sebaiknya Prabowo- AHY jangan dipasangkan,. Menurut pandangan saya kalau dipasangkan akan tidak efektif dan produktif, sebaiknya dipertimbangkan secara matanglah," jelasnya.
Berbeda, Pengamat Politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menyatakan Prabowo-AHY berpotensi menjadi lawan tanding cukup kuat untuk menghadapi petahana Jokowi. Dengan turunnya tren pemilih partai politik dalam hasil Pilkada 2018, ketokohan menjadi referensi alternatif. Tidak dapat dipungkiri, pengaruh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di masyarakat secara umum masih kuat.
Jika benar duet militer ini menjadi pilihan, Gerindra-Demokrat harus ekstra lobi untuk gandeng parpol oposisi saat ini, terutama PKS dan PAN. Sebab, berkaca dari Pilkada, PAN banyak memenangi Pilkada, sedangkan PKS hingga saat ini masih menjadi parpol yang memiliki kader paling stabil.
"Konstelasi politik untuk saat ini masih sangat cair. Apalagi, hasil Pilkada serentak ternyata kurang berpihak pada partai dominan seperti PDIP dan Golkar," ujar dia.
Bertarung level program
Dibandingkan dengan Prabowo, Emrus menilai sosok AHY lebih cocok dipasangkan dengan Joko Widodo. sedangkan Prabowo dengan Anies Rasyid BAswedan.
Jika formasi seperti itu, dia menilai, pertarungan akan lebih seru dan menarik. Dua pasangan calon itu terlihat lebih sepadan, sehingga akan menghasilkan pertarungan pada level program. Dengan demikian, bisa menguntungkan rakyat.
"Kalau paslon tidak sepadan, jomplang dari berbagai variable termasuk isu. Maka, pertarungan hanya berada pada level sosok, padahal semestinya pertarungan pada level program," katanya.
Selain itu, sosok Jokowi juga bisa disandingkan dengan tokoh agama. Hanya saja, tokoh agama yang harus disandingkan dengan Jokowi haruslah sosok yang mampu membantu mendongkrak elektabilitas Jokowi pada arena Pilpres 2019 mendatang.
Terlebih, posisi Jokowi saat ini belum aman karena hanya memiliki modal elektabilitas di bawah 50%."Dengan siapapun Jokowi berpasangan, baik santri maupun mantan militer, haruslah yang mampu mendongkrak elektabilitas," tutur dia.