Rencana Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan RUU Perlindungan Ulama, Tokoh Agama, dan Simbol Keagamaan, mendapatkan respons dari sejumlah pihak. Mereka menilai tidak ada urgensi memiliki undang-undang seperti itu.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP Achmad Baidowi mempertanyakan urgensi memiliki undang-undang untuk melindungi pemuka agama. Apalagi Indonesia sudah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Kita jangan terlalu banyak membentuk UU. Soal kriminalisasi ulama itu, lihat apa persoalnnya," kata Baidowi kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (19/11).
Kendati hanya sebagai sebuah usulan, tetapi Awiek, sapaan akrabnya, mengatakan harus tetap melihat substansi RUU, jangan sampai masyarakat terjebak oleh judul.
"Kayak kasus Habib Bahar kemarin. Apakah masuk pidana, kriminaliasi ulama, atau pidana? Jangan sampai nanti dia menggunakan ulama untuk membungkus perilakunya," ujar Awiek.
Sementara itu, pakar filsafat politik Unika Widya Mandiri Kupang Norbertus Jegalus mengatakan, dari kacamata negara hukum, negara memiliki tanggung jawab untuk menggali kebutuhan rakyatnya. Oleh karena itu, usulan RUU Perlindungan Ulama merupakah hal yang diperbolehkan, sepanjang memungkinkan untuk memiliki regulasi khusus bagi pemuka agama.
"Kenyataannya di Indonesia itu, 90% Islam. Jika mereka merasa itu suatu kebutuhan untuk menjamin tidak ada kelompok yang menjadi korban setiap kali event politik, itu bisa saja," kata Norbertus kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Rabu (20/11).
Tetapi sama seperti Awiek, Norbertus mengatakan masyarakat Indonesia tidak boleh terjebak pada judul. Kadangkala, judul sangat positif namun isi atau substansinya jauh panggang dari api.
"Kita belum katakan tolak atau setuju karena belum lihat substansi rancangannya. Terkadang tema UU sungguh positif tetapi isi atau substansinya sama sekali negatif dan itu patut ditolak," ujar pria yang menulis buku Hukum Kata Kerja, Diskursus tentang Hukum Progresif ini.
Pengalaman itu ditemukan Norbertus ketika diminta pemerintah mengomentari RUU Kerukunan Umat Beragama.
"Saya ambil contoh, RUU kerukunan Umat Beragama. Isinya sangat tidak menjamin kerukunan umat beragama. Makanya kita melihat dulu substansi dari RUU yang diusulkan PKS ini," jelas Norbertus.
RUU Perlindungan Ulama sempat diwacanakan elite politik PKS pada kampanye Pilpres 2019. RUU itu kembali mencuat dan menjadi salah satu rekomendasi kader dalam Rapat Koordinasi Nasional PKS di Hotel Bidakara, Jakarta, beberapa hari lalu.
Direktur Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan, wacana yang diusulkan PKS pada dasarnya sangat positif, sebab ulama harus dihormati dan tidak boleh dikriminalisasi. Dalam struktur sosial masyarakat Indonesia, status ulama menempati posisi terhormat. Sama dengan para pemuka agama lainnya, termasuk tokoh adat dan tokoh masyarakat yang juga memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat.
Namun persoalannya, RUU Perlindungan Ulama yang diusulkan PKS berpotensi menimbulkan polemik dan memperlebar kesenjangan sosial. Pasalnya, RUU tersebut menggunakan diksi satu golongan tertentu, sedangkan realitasnya masyarakat Indonesia sangat beragam.
"Menurut saya, PKS paham soal itu. Lalu apa motivasi PKS mengusung RUU tersebut? Menurut saya inilah kecerdikan PKS dalam menyusun strategi propaganda," ucap dia.
Berhasil atau tidaknya RUU Perlindungan Ulama tersebut disahkan bukan hal penting, yang penting adalah membentuk persepsi publik bahwa PKS seolah-olah berada di garda terdepan dalam membela ulama.
Karyono menilai, usulan RUU tersebut tidak steril dari kepentingan politik jangka menengah dan panjang.
"RUU tersebut beraroma politis untuk menyedot ceruk pemilih muslim. Karenanya, pemilih mesti cerdas dalam membaca setiap manuver politik yang dilakukan oleh partai mana pun dan oleh siapa pun agar tidak tersesat ke dalam kegelapan," pungkasnya.