Menteri NU dan paras politik kaum Nahdliyin
Sukses mengusung Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden terpilih ternyata tak cukup memuaskan syahwat politik Nahdlatul Ulama (NU). Kurang lebih sebulan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan Jokowi-Ma'ruf sebagai pemenang Pilpres 2019, NU blak-blakan minta jatah menteri ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Tidak ada dukungan politis yang gratis," ujar Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur Agoes Ali Masyhuri usai menghadiri halalbihalal Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) di Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/6).
Pernyataan Agoes terkesan vulgar. Apalagi, ketika itu Jokowi-Ma'ruf belum aman. Kemenangan Jokowi-Ma'ruf tengah digugat pasangan penantang Prabowo-Sandi di Mahkamah Konstitusi (MK) meskipun pada akhirnya permohonan gugatan itu ditolak hakim MK.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Suhud membenarkan niat NU untuk dapat jatah kursi menteri dari Jokowi. Namun demikian, ia menyerahkan sepenuhnya keputusan itu kepada Presiden.
"Karena itu memang merupakan hak prerogatif Presiden. Terserah Presiden pokoknya. Kalau dikritik itu kan boleh-boleh saja. Hak seseorang (untuk mengkritik)," ujar Marsudi saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Kamis (22/8).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding mengatakan, jatah menteri buat NU memang harus dibedakan dengan jatah buat PKB. Menurut dia, kontribusi NU layak diganjar kursi menteri tersendiri.
"Kan beda. PKB parpol, NU ormas. Masing-masing punya AD/ART. Masing-masing bekerja dan punya basis massa (berbeda). Tapi, terserah Pak Jokowi. Parpol dan ormas hanya memberi masukan," kata dia.
Kontribusi kaum Nahdliyin setidaknya terekam dari data exit poll Indikator Politik Indonesia. Menurut catatan Indikator, data exit poll menunjukkan 56% warga NU mengaku memilih Jokowi atau naik 12% jika dibanding Pilpres 2014. Survei Alvara Research Center juga merekam kenaikan suara NU untuk Jokowi.
Jatah untuk NU biasanya sepaket dengan jatah PKB. Pasalnya, PKB yang lahir dari rahim NU kerap dianggap perwakilan Nahdliyin di kabinet. Pada 2016, Jokowi bahkan sempat menyebut empat menteri dari PKB di Kabinet Kerja jilid I sebagai menteri NU.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar turut angkat suara. Menurut dia, kader NU paling tepat memimpin Kementerian Agama (Kemenag) yang saat ini dikuasai PPP. "Menteri Agama, ya, biasanya dari Nahdlatul Ulama. Mayoritas orang beragama Islam kan NU," kata dia.
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi menilai wajar jika PKB tak mau jatahnya sepaket dengan NU. Namun demikian, Arwani mengatakan, keputusan akhir tetap ada di tangan Jokowi.
"Kalau soal kader NU, itu ada di mana-mana. Tidak hanya di PKB saja. Ada banyak di PPP, Golkar, PDI-Perjuangan, NasDem, dan lainnya. Jadi, soal menteri dari NU, kita percayakan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi," tuturnya.
Polemik soal jatah menteri NU itu kian menguatkan citra baru NU sebagai ormas berwajah politik. Sebelumnya, kasak-kusuk pragmatisme politik NU juga tercium saat pencalonan mantan Rais Aam NU Ma'ruf Amin sebagai pendamping Jokowi.
Jokowi dikabarkan terpaksa memilih Ma'ruf karena NU mengancam akan 'tidur' selama perhelatan Pilpres 2019 jika bukan kader struktural NU yang dipilih menjadi pendamping. Padahal, Jokowi sebelumnya telah sreg maju bersama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD.
Pergeseran khitah NU
Dalam buku bertajuk 'NU Jadi Tumbal Politik Kekuasaan, Siapa Bertanggungjawab?' yang dirilis awal 2019, Choirul Anam membeberkan, NU mulai bergeser dari khitahnya sebagai ormas sosial dan keagamaan sejak dinakhodai oleh Said Aqil Siradj.
Said Aqil terpilih dalam Muktamar NU ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2010. Ketika itu, menurut Choirul, muktamar digelar layaknya kongres partai politik. Tak seperti sebelumnya, para kandidat calon ketua umum PBNU memboyong tim sukses ke gelaran muktamar.
Saat itu, menurut Choirul, politikus PKB mulai menancapkan pengaruh di NU. Salah satunya dengan menjadi anggota tim sukses para kandidat. Seperti lazimnya yang terjadi di ajang pemilihan ketua umum parpol, dugaan jual beli suara juga sempat mengemuka dalam muktamar tersebut.
Lima tahun berselang, Said Aqil kembali terpilih dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang Jawa Timur. Tak lebih baik, muktamar tersebut justru penuh kegaduhan dan diwarnai beragam intrik politik.
Salah satu yang menjadi polemik ialah pemilihan ketua umum menggunakan sistem ahlul aalli wal aqdi (AHWA) atau sistem formatur. Padahal, AHWA tidak ada dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga NU. Hasil pemilihan model itu yang kemudian digugat puluhan kyai NU yang dipimpin Solahuddin Wahid (Gus Solah).
Selain Said Aqil, Muktamar NU Jombang juga mendapuk Ma'ruf Amin sebagai Rais Aam NU yang baru dan Miftachul Akhyar sebagai Wakil Rais Aam. Rais Aam merupakan jabatan tertinggi di NU. Menurut Choirul, di bawah ketiganya, NU kian politis.
Di berbagai kesempatan, ketiga tokoh besar NU kerap menyatakan, NU dihormati sekaligus dibutuhkan pada era Jokowi. NU ibaratnya ashaqul qoror atau pemangku kebijakan setingkat pemegang kata 'putus' untuk urusan pemerintahan dan negara. "Yang akhirnya mulai membawa NU jauh dari nilai-nilai dasar paham keagamaannya," tulis Choirul.
Pragmatisme politik NU, dijelaskan Choirul, mencapai puncaknya saat PBNU mendorong Maruf Amin sebagai pendamping Jokowi. Dipengaruhi PKB, NU terus diarahkan untuk berpolitik praktis dan kian lama semakin kehilangan nalar kritisnya.
"Orientasinya, hanya soal menang dan kalah dalam perebutan pemilihan jabatan politik baik eksekutif maupun legislatif. Keseharian NU akan dipenuhi kegiatan dan perbincangan strategi pemenangan untuk merebut kursi DPR, DPRD, walikota/bupati, gubernur, dan presiden," terang dia.
Faksionalisasi kaum Nahdliyin
Guru Besar Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukron Kamil memandang, Muktamar NU di Jombang punya andil besar dalam mempertegas wajah politik NU. Menurut dia, faksionalitas terbentuk di tubuh NU pascamuktamar yang penuh kegaduhan itu.
"Kasus Mahfud jelas sekali terlihat bahwa dia (NU) sangat terlihat politisnya ketimbang kulturalnya. Mahfud dibilang bukan kader struktural NU. Itu jelas sekali ada faksi," jelas Sukron.
Menurut Sukron, terjadi rivalitas antara unsur Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di tubuh NU. Mahfud, dalam hal ini, dianggap bagian dari unsur HMI.
"Oleh sebab itu, orang seperti Mahfud yang dari HMI itu terjungkal kala mau jadi cawapres. Ada kesan orang NU yang dibesarkan di HMI itu kurang ke-NU-annya," kata dia.
Digagalkannya pencalonan Mahfud, lanjut Sukron, merupakan bukti gamblang bahwa NU kini benar-benar politis. NU, kata dia, tak lagi terbuka dan lebih mengedepankan kepentingan golongan tertentu.
"Ya, jelas politisnya kelihatan. Kalau dia terbuka dengan semua model Nahdliyin, itu bagus. Dia (NU) memberi kesempatan ke semua unsur NU, baik yang sarungan, yang politis, bahkan yang nonpolitis. Saran saya kembali ke kultur NU," ujar dia.
Terkait jatah menteri NU, Sukron menyarankan, agar Jokowi tak menuruti begitu saja keinginan PKB dan NU. "Dia (Jokowi) janji ingin mengedepankan merit sistem. Jadi, pilih sesuai keahlian. Saya sarankan Jokowi jangan mau didikte sama PKB dan NU," ujarnya.
Kembali ke fitrah
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSKI) Arif Susanto, politisasi agama yang marak digunakan sebagai senjata dalam kontestasi elektoral sejak beberapa tahun terakhir juga berpengaruh dalam mempertegas wajah politik NU.
Di Pilpres 2019, menurut Arif, NU dan Ma'ruf Amin dijadikan tameng untuk menghalau serangan-serangan politik identitas. "Di satu sisi, ada yang ingin mempolitisasi agama untuk mendulang suara. Di sisi lain, ada yang ingin menggunakan politisasi agama untuk meng-counter atau untuk mendegradasi posisi politik seseorang. Ini sebenarnya buruk bagi demokrasi kita," katanya.
Arif juga mengkritik langkah PKB yang memisahkan jatah menteri antara NU dan PKB. Selain menyeret NU kian dalam ke pusaran politik, manuver itu juga sekaligus menyandera Jokowi saat menyusun komposisi kabinet. "Kalau kalkulasinya adalah jumlah, ya, tentu saja ini nanti bakal menyandera Presiden," imbuhnya.
Pakar hukum dan syariah Ismail Hasani mengatakan, sejak Muktamar NU 2015, NU di bawah Said Aqil memang terkesan terus mendekat ke pusaran kekuasaan. Tanpa meminta jatah menteri pun, menurut dia, NU sudah kian jauh dari khitahnya sebagai ormas sosial dan keagamaan.
"Karena tidak bisa lagi menjaga jarak dengan kekuasaan sehingga terkunci daya kritisnya untuk berkontribusi bagi negara, khususnya mengkritik penyelenggara negara," ujar Ismail.
Menurut Ismail, NU seharusnya berupaya kembali ke fitrahnya sebagai ormas pengayom umat Islam dan melepaskan diri dari kooptasi politik kekuasaan yang membelenggunya selama ini. "NU harus kembali berpolitik secara adiluhung," kata dia. (Ant)