Presiden Joko Widodo (kedua kiri) dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Prabowo Subianto (kedua kanan) berpelukan disela menyaksikan Pencak Silat Asian Games 2018 di di Padepokan Pencak Silat di Taman Mini Indonesia Indah, Jak
Setiap menjelang perhelatan politik, masyarakat kerap melihat masing-masing kandidat menebar pesona.
Setiap menjelang perhelatan politik, masyarakat kerap melihat masing-masing kandidat menebar pesona. Tujuannya tentu saja untuk menarik simpati publik agar mampu mendokrak suaranya di Pilpres 2019.
Hal itu tentunya memerlukan gaya komunikasi politik yang mumpuni, karena hal tersebut sangat menentukan dalam menarik kepercayaan publik. Lalu sejauh manakah gaya komunikasi politik Jokowi dan Prabowo dalam meraih simpati publik ?
Menurut Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah, terdapat perbedaan gaya komunikasi politik yang mencolok antara Jokowi dan Prabowo. Jokowi memiliki keunggulan dalam berkomunikasi dengan masyarakat bawah, sebab, Jokowi memiliki gaya bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat kebanyakan.
"Keunggulan Jokowi mampu membuat pernyataan yang mudah dipahami rakyat. Jokowi mampu membuat pernyataan-pernyataan yang menggambarkan kesederhanaan dan apa adanya," paparnya kepada Alinea.id.
Namun hal tersebut sepertinya belum mampu menggaet pemilih rasional. Pemilih rasional cenderung menginginkan pemimpin yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Pemilih rasional juga tidak puas dengan gaya komunikasi seperti itu. Generasi sekarang atau milenal menginginkan presiden yang memiliki wibawa dan kecerdasan di atas rata-rata.
Sementara di sisi lain, Ubedilah memandang Prabowo memiliki gaya komunikasi yang tegas, cenderung disukai pemilih pemula. Namun begitu, gaya komunikasi Prabowo berpotensi memengaruhi popularitasnya.
"Komunikasi menggebu-gebu yang diperlihatkan Prabowo memberi peluang untuk melakukan kesalahan komunikasi. Lihat saja pernyataan dia yang mengatakan Indonesia bubar pada 2030. Boleh saja dikatakan. Tetapi hal itu tidak dibangun dalam argumen yang detail sehingga melahirkan citra negatif," paparnya.
Hal serupa namun tak sama diungkapkan Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago. Dia mengatakan, gaya komunikasi politik antara Jokowi dan Prabowo amat ditentukan segmen pemilih yang disasarnya sehingga gaya komunikasi kedua capres tersebut memiliki perbedaan.
"Gaya bahasa sangat ditentukan oleh segmen pemilih. Tergantung kepada siapa berbicara. Pemilih Jokowi itu didominasi orang yang mengenyam pendidikan hanya SD sampai SMP, sedangkan Prabowo itu pemilihnya SMA dan mahasiswa," paparnya.
Apabila ingin memenangkan pertarungan di 2019, ada baiknya Prabowo tidak terjebak pada segmen pemilih yang rata-rata berpindidikan tinggi. Apalagi segmen tersebut memiliki angka yang lebih kecil dibanding dengan pendidikan di bawahnya.
Lebih lanjut, Ubedilah menyarankan kepada Jokowi dan Prabowo untuk mengubah gaya komunikasi politiknya, apabila segmen pemilihnya ingin beragam.
"Untuk Jokowi harus menerima masukan konsultannya. Bagaimana bicara di hadapan generasi di era digital saat ini, dan Prabawo memperbaiki gaya komunikasi yang biasanya menggebu-gebu. Perkuat dengan argumen yang kokoh dan tidak melompat-lompat, agar publik mudah memahaminya," tuntasnya.