Usulan calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo, tentang hak angket kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 disambut positif Koalisi Perubahan untuk Persatuan, yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin). Namun, hingga kini belum bergulir di DPR.
Kendati begitu, Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, mengendus angket akan dimanfaatkan sebagai upaya memakzulkan Joko Widodo sebagai presiden. Baginya, silang pendapat tentang hal ini takkan kunjung usai.
"Jika niatnya untuk memakzulkan Jokowi, itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran," katanya kepada wartawan, Kamis (22/2).
Yusril menyampaikan demikian karena proses pemakzulan memakan waktu panjang. Diawali angket, lalu hak menyatakan pendapat (HMP) oleh DPR soal pelanggaran oleh presiden. Kemudian, harus diputus Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika MK menyetujui permohonan tersebut, maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR. Namun, berpeluang ditolak MPR.
Menurutnya, proses pemakzulan melalui angket bakal rampung setelah 20 Oktober 2024 atau pelantikan presiden baru. Akibatnya, ia mengingatkan, negara berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan.
"Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira, negara harus diselamatkan," tegasnya.
Tak bermaksud makzulkan Jokowi
Sementara itu, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Adian Napitupulu, menerangkan, wacana angket kecurangan pemilu mulai berjalan. Bahkan, pihaknya telah membangun komunikasi informal dengan Koalisi Perubahan agar angket dapat berjalan.
Adian bahkan mengklaim, bahwa bukan hanya PDIP yang mendorong angket, melainkan rakyat. Meskipun demikian, ia menegaskan, angket bakal digunakan untuk memakzulkan kepala negara. "Enggak ada yang bicara pemakzulan Jokowi!" ujarnya, Jumat (23/2).
Adian melanjutkan, PDIP tidak ingin berfokus pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melalui angket kecurangan pemilu. Sebab, disinyalir banyak yang bermain dalam kecurangan tersebut, utamanya dari eksekutif. Inilah yang mendasari DPR sebagai pengawas harus menjalankan perannya agar keliaran dikoreksi.
"Kan, ada banyak eksekutif lain yang terlibat juga, toh! Dan biar bagaimanapun juga, sebenarnya KPU dan Bawaslu itu adalah lembaga negara. Hak angket ini bisa menyentuh siapa pun selama dia lembaga negara dan menggunakan uang negara," terangnya.
"Semua yang menggunakan APBN berhak diawasi oleh DPR. Masa kita buat APBN, lalu kita cuek-cuek saja?" lanjut Adian.
Urgensi angket kecurangan pemilu
Terpisah, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, menilai, angket yang diusulkan Ganjar akan mendalami tentang kecurangan pemilu. Namun, baginya, isu tersebut mestinya bukan wewenang legislatif, melainkan Bawaslu dan MK.
Ia melanjutkan, bergulirnya angket tersebut menunjukkan isu ini sarat kepentingan politik. Pun akan sulit dijadikan "kendaraan" untuk menggagalkan hasil pemilu.
"Tidak terlalu urgen hak angket untuk memutuskan suatu perkara," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (23/2).
Adapun pengamat politik Firman Noor memandang, DPR berpeluang memerintahkan penyelidikan ke lingkup eksekutif jika angket berhasil. Tentunya, untuk mendudukan persoalan ini dan melakukan perbaikan.
Sebab, sebelum mengarah ke pemungutan suara ulang ataupun pemakzulan yang sarat inkonstitusional, isu kecurangan perlu dituntaskan dahulu.
"Setidaknya dibereskan masalah pemilu dulu. Kalau diarahkan ke sana (pemungutan suara ulang atau pemakzulan, red), mungkin saja, tapi pemakzulan itu lebih ke kriminal atau inkonstitusonal," jelasnya kepada Alinea.id.