Pemungutan suara ulang (PSU) turut mewarnai Pilkada Serentak 2024. Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, PSU setidaknya bakal digelar di 149 tempat pemungutan suara (TPS) di berbagai daerah. Selain itu, KPU juga akan menyelanggarakan pemungutan suara susulan (PSS), dan pemungutan suara lanjutan (PSL) di 346 TPS.
Di pentas Pilgub DKI Jakarta, Bawaslu tengah mengkaji kemungkinan menggelar PSU di TPS Pinang Ranti, Jakarta Timur. Belum lama ini, beredar video di media sosial yang menunjukkan tumpukan surat suara yang telah tercoblos gambar salah satu paslon di TPS itu.
Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty, menegaskan bahwa pelaksanaan PSU merupakan mekanisme koreksi atas kesalahan dalam proses pemilu, baik teknis maupun administratif. Namun, eksekusi PSU sepenuhnya menjadi kewenangan KPU.
Ia menegaskan bahwa jika memang terdapat pelanggaran yang memenuhi syarat untuk PSU, maka KPU wajib melaksanakannya tanpa pengecualian. Secara total, Bawaslu telah merekomendasikan PSU di 180 TPS. Namun, KPU menolak rekomendasi PSU pada 26 kasus.
“PSU bukan hanya soal administrasi, tetapi juga memiliki konsekuensi besar, baik dari sisi anggaran maupun partisipasi pemilih,” ujar Lolly saat ditemui Alinea.id di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (3/12).
Ia mengingatkan bahwa penurunan partisipasi pemilih dalam PSU sebelumnya menjadi catatan penting. Bawaslu sendiri masih mendalami beberapa temuan pelanggaran pemilu yang potensial berujung PSU, termasuk kasus di Pinang Ranti.
“Proses ini harus selesai paling lambat tanggal 6 atau 7 Desember. PSU tidak boleh dilakukan sembarangan, tetapi juga tidak bisa diabaikan jika memang memenuhi syarat,” ujar Lolly.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Annisa Alfath memberikan pandangan kritis terhadap pelaksanaan PSU. Ia menilai bahwa penurunan jumlah PSU tidak selalu mencerminkan berkurangnya pelanggaran atau kecurangan pemilu.
“PSU hanya memperbaiki kesalahan administratif, tetapi tidak menyentuh pelanggaran seperti politik uang atau intimidasi pemilih,” jelas Annisa saat dikonfirmasi Alinea.id, Rabu (4/12).
Annisa juga menyoroti pola baru dalam praktik politik uang yang semakin variatif. Menurut dia, vote buying alias jual beli suara tidak lagi menggunakan uang tunai, melainkan melalui e-wallet atau pasar murah terselubung.
Buruknya penyelenggaraan pilkada, kata Annisa, tergambar dari kontroversi hasil Piwalkot Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Meskipun hanya diikuti satu paslon, KPU tak menyediakan gambar kotak kosong di surat suara.
“Seharusnya tersedia kotak kosong sebagai alternatif, apalagi hasil menunjukkan paslon yang didiskualifikasi justru meraih suara lebih banyak,” katanya.
Pilwalkot Banjarbaru memicu kontroversi setelah suara tidak sah mendominasi hasil pencoblosan. Menurut hitungan Gerakan Masyarakat Peduli Demokrasi (GMPD) Banjarbaru, perolehan suara tidak sah di Pilkada Banjarbaru mencapai 78.807 suara atau 68,6%. Berstatus sebagai paslon tunggal, Erna Lisa Halaby dan Wartono (Lisa-Wartono) hanya meraup 36.113 suara atau 31,4%.
Lisa-Wartono mendadak menjadi paslon tunggal setelah KPU Kota Banjarbaru membatalkan pencalonan pasangan Muhammad Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah (Ariffin-Said) jelang pencoblosan. Meski begitu, foto Aditya-Said masih terpampang di kotak suara. KPU berdalih belum sempat mengganti foto Aditya-Said dengan gambar kotak kosong.