Misi muskil memupus politik uang di Pemilu 2024
Dua kali gagal melenggang ke Senayan setelah mengikuti dua pentas pileg yang berbeda bikin Delianur seolah tersadar akan "pahitnya" realita politik di Indonesia. Sepemahaman dia saat ini, hanya caleg berkantong tebal yang bisa berkantor di Gedung DPR RI.
"Saya kalah karena saya enggak punya banyak uang saat itu. Sebagian besar rumus untuk menjadi anggota legislatif, ya, harus punya uang. Sangat jarang yang bisa lolos hanya mengandalkan modal sosial," ujar Delianur saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (12/8).
Delianur kali pertama nyaleg pada Pemilu 2014. Ia diusung Partai Amanat Nasional (PAN). Sebelum terjun ke dunia politik, ia sempat bekerja di Kementerian Koordinator Perekonomian. Delianur mengaku memutuskan nyaleg setelah berulangkali dirayu Hatta Rajasa, Ketum PAN ketika itu.
Pada Pemilu 2014, ia ditempatkan di daerah pemilihan Jawa Barat II yang meliputi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Untuk mengongkosi petualangan politiknya di pentas pileg perdananya itu, Delianur setidaknya menghabiskan hingga Rp2 miliar.
Duit sebesar itu, kata Delianur, nyaris tak ada artinya di pentas pileg. Pasalnya, sudah terbangun budaya transaksional antara pemilih dan caleg petahana di dapil tempat dia bertarung. "Saya sering itu ditanya, mau ngasih apa buat mereka, dalam artian mau ngasih berapa," kenang Delianur.
Di berbagai lokasi kampanye, Delianur mengaku, rutin "dipalak" para calon pemilih. Para pemilih, kata Delianur, bahkan kerap terang-terangan membandingkan besaran amplop yang mampu diberikan para caleg di dapil.
Pada 2019, Delianur juga kembali nyaleg. Seperti pemilu sebelumnya, ia menemukan pola serupa. Setelah gagal untuk kedua kalinya, ia merasa mustahil bisa menang jika tak punya duit.
"Saya berkesimpulan sukses tidak sukses menjadi caleg itu faktor utamanya adalah uang. Jadi, menurut saya, kalau kita tidak punya uang, itu kita tidak akan jadi," ucap pria yang kini tinggal di Riyadh, Arab Saudi, itu.
Politik uang juga dirasakan marak di pentas pileg tingkat provinsi dan kabupaten. Itu setidaknya dibenarkan anggota DPRD DKI Jakarta Justin Adrian. Saat ini, Justin nyaleg di dapil Jakarta Timur V yang meliputi Duren Sawit, Kramat Jati, dan Jatinegara.
Justin telah beberapa kali turun ke dapil. Di sejumlah titik sosialisasi, politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu mengaku kerap bertemu kelompok masyarakat yang secara vulgar menyodorkan suara mereka dengan syarat mendapat imbalan uang atau barang.
"Tetapi, saya selalu berusaha mengedukasi warga terkait dampak buruknya politik uang. Ada yang menerima edukasi itu, tapi tidak sedikit pula yang mencibir. Saya tidak masalah dengan respons negatif tersebut karena pilihan kembali kepada rakyat," ucap Justin kepada Alinea.id, Rabu (16/8).
Justin bercerita banyak warga yang bersedia membarter suara mereka dengan duit Rp50 ribu atau sepaket warga. Jika permintaan warga itu dijalankan, menurut Justin, seorang caleg setidaknya butuh Rp1,5 miliar untuk memenangi kontestasi. Pasalnya, caleg DPRD minimum harus mengumpulkan sekitar 30 ribu suara untuk bisa lolos ke Kebon Sirih.
"Lalu saya tanyakan kepada warga, 'Kira- kira ada tidak caleg yang berniat kerja jujur, tapi harus keluar uang dulu Rp1,5 miliar? Kira-kira dia (caleg tersebut jika terpilih) rencana kerja bener atau rencana kejar uang lebih banyak?'" ucap Justin.
Justin menegaskan ia tak mau terjerumus dalam permainan politik uang dalam pemilu. Ia lebih memilih mendekati pemilih lewat program-program perlindungan sosial, semisal yang terkait bahaya narkoba dan pencegahan HIV/AIDS.
"Saya katakan kepada tim saya untuk tidak usah memikirkan nanti saya akan menang atau kalah dalam pileg. Semua yang kita berikan kepada masyarakat itu saja sudah sangat baik dan dapat bermanfaat," tutur Justin.
Bakal kembali marak?
Indikasi politik uang bakal kembali mewabah pada Pemilu 2024 diutarakan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana. Ivan menduga praktik-praktik jual-beli suara terutama bakal terjadi pada masa tenang.
Ivan berkaca pada Pemilu 2019. Ketika itu, PPATK mendapati sejumlah pola transaksi janggal pada masa tenang Pemilu 2019. Salah satu yang mencolok adalah terjadinya penukaran uang pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000 secara masif di berbagai bank.
"Kami lakukan koordinasi terus dengan pihak pelapor dan industri keuangan, KPU, Bawaslu dan tentunya segala upaya untuk memperkuat kemampuan PPATK mendeteksi (politik uang)," ucap Ivan kepada Alinea.id, Selasa (15/8).
Pada Pemilu 2024, KPU telah mengatur masa tenang pada periode 11-13 Februari 2024. Masa ini berlaku usai kampanye pemilu dari 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Usai masa tenang, hari pemungutan suara akan digelar pada 14 Februari 2024.
Selain berkolaborasi dengan KPU dan Bawaslu, Ivan mengatakan PPATK bakal terlibat aktif dalam Satuan Tugas Antipolitik Uang yang belum lama ini dibentuk Polri untuk mengantisipasi jual-beli suara pada Pemilu 2024. "Tugas kami follow the money (mengikuti aliran uang)," ucap Ivan.
Ivan menyebut PPATK juga bakal melancarkan program bernama collaborative analysis untuk menekan praktik-praktik politik uang saat pemilu. "Namun, detailnya tidak bisa saya sampaikan," jelas dia.
Senada, anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty juga mewanti-wanti bahaya maraknya politik uang di Pemilu 2024. Berbasis pengalaman di Pemilu 2019, Lola menyebut modus politik uang beragam, mulai dari memberikan langsung, memberikan barang, dan memberikan janji.
"Ada politik uang sebelum masa kampanye, ada pula sebelum hari pemungutan suara. Selain itu, ada pula politik uang yang dilakukan secara digital, termasuk juga kegiatan sosial yang diwarnai politik luar dan program pemerintah," ujar Lolly.
Belum lama ini, Bawaslu juga merilis indeks kerawanan pemilu (IKP) yang secara khusus menyoroti isu politik uang. Dari hasil kajian Bawaslu, tercatat ada 5 provinsi yang punya tingkat kerawanan tinggi, yakni Maluku Utara dengan skor IKP mencapai 100, Lampung (55,56), Jawa Barat (50), Banten (44,44), Sulawesi Utara (38,89).
Pada kategori tingkat kerawanan sedang, DKI Jakarta berada di posisi puncak dengan skor IKP 32,33. "Bawaslu bergandengan tangan dengan berbagai kelompok kepentingan seperti kepolisian, kejaksaan, pemerintah dan masyarakat. Semua harus bergabung karena bahaya politik uang hanya bisa ditangani kalau kita kerja bersama-sama," kata Lolly.
Anggota DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto membenarkan masih banyak kelompok masyarakat yang "membudayakan" jual beli suara dalam pemilu. Ia menegaskan praktik-praktik lancung dalam kompetisi elektoral semacam itu wajib dihindari.
"Saya tidak pernah mengalami dan tidak pernah mengikuti keinginan masyarakat yang seperti itu," ucap Mulyanto kepada Alinea.id, Rabu (16/8).
Mulyanto saat ini tercatat sebagai salah satu caleg DPR RI di dapil Banten III yang meliputi Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Menurut Mulyanto, politik uang tak menjamin seorang caleg bisa lolos ke Senayan.
"Saya lebih memilih menyapa konstituen dengan berbagai program pembangunan dari mitra kementerian serta pelayanan dari program sendiri baik berupa layanan kesehatan, baksos (bakti sosial), dan bazar sembako," kata Mulyanto.
Sulit diberantas
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai politik uang merupakan persoalan pelik yang sulit diberantas. Pasalnya, praktik politik uang bertali-temali dengan persoalan budaya korupsi dan pendidikan politik masyarakat yang masih rendah.
Di lain sisi, kasus politik uang yang terkuak di ruang publik juga hanya rutin menjerat aktor-aktor di lapangan. Para pendonor atau aktor intelektual seringkali tidak tersentuh. Ada banyak faktor penyebab. Salah satunya ialah pelaksana politik uang di lapangan tidak terdaftar dalam tim kampanye.
"Terkadang ini (politik uang) dilakukan oleh tim bayangan yang bukan merupakan tim resmi kampanye. Lalu, ada juga kekhawatiran dari masyarakat untuk melapor karena takut akan dikriminalisasi," ucap Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa, kepada Alinea.id, Selasa (15/8).
Upaya menjerat pelaku politik uang, kata Ninis, juga sering kali kandas lantaran penegak hukum menganggap unsur tindak pidananya tak lengkap. Ia mencontohkan pembagian amplop berisi duit tapi tanpa seruan untuk memilih kandidat tertentu. "Penegak hukum akan melihat semua unsur ini," imbuh Ninis.
Karena itu, Ninis pesimistis Satgas Antipolitik Uang yang dibentuk Polri bakal efektif. Berbasis pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, ia menyebut banyak kasus politik uang terkait pemilu yang terungkap tapi tak pernah sampai ke meja hijau.
"Misalnya, ketika ada orang membagikan amplop tapi tidak secara eksplisit menyatakan ajakan untuk memilih atau tidak memilih, maka unsur pidananya itu tidak terpenuhi dan tidak ditindaklanjuti," ucap Ninis.
Pendapat serupa diungkap eks anggota Bawaslu periode 2008-2012, Wahidah Suaib. Menurut Wahidah, masih ada celah dalam regulasi terkait politik uang yang bisa diakali oleh para pelaku politik uang.
Saat Wahidah menjabat sebagai anggota Bawaslu, misalnya, para pelaku politik uang tak bisa dijerat jika menjalankan praktik kotor itu di luar masa tenang dan jelang pencoblosan. Ketika itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu belum disahkan.
"Saat itu, regulasi mengenai politik uang membatasi hanya pada proses masa tenang dan pemungutan suara. Padahal, politik uang juga bisa terjadi pada saat proses proses pencalegan," ujar Wahidah kepada Alinea.id, Rabu (16/8).
Dalam banyak kasus, Wahidah bercerita, para pelapor tindak pidana politik uang acap kali tidak berani melanjutkan laporan ke tahap yang lebih serius. Itu kerap terjadi setelah muncul indikasi aktor intelektual politik uang tergolong "orang penting".
"Sering kali pelapor politik uang itu berani di tahap awal. Tapi, begitu mencuat dan ini menyasar orang penting, pelapornya balik badan. Setelah kasusnya terekspose, dia mendapat tekanan orang sekitar atau orang-orang kuat di sekitar calon," ucap Wahidah.
Lantas, bagaimana saat ini? Asalkan ada komitmen yang kuat, Wahidah optimistis aktor-aktor utama politik uang saat pemilu bisa dijerat. Pasalnya, UU Pemilu sudah cukup lengkap mengatur larangan dan sanksi terkait politik uang. Para pelaku politik uang bahkan kini bisa dijerat saat menjalankan aksi pada masa kampanye.
Meski begitu, Wahidah mengingatkan perlunya Bawaslu dan Polri membangun sinergi di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Secara khusus, Bawaslu dan Polri setidaknya harus punya persepsi yang sama dalam mengategorikan kasus-kasus politik uang.
"Semisal, menurut polisi, ini (sebuah kasus) memenuhi politik uang. Tapi, menurut Bawaslu, enggak. Nah, bagaimana menangani perbedaan sikap dua lembaga ini terkait dengan itu. Jadi, perlu dipikirkan mekanisme yang lebih detail agar tidak terjadi tumpang tindih," ucap Wahidah.
Tak kalah penting, lanjut Wahidah, ialah netralitas dan profesionalitas Polri saat menggarap kasus politik uang yang diduga melibatkan pejabat negara. "Netralitas polisi penting upaya kasus yang diusut tidak mati suri," ucap Wahidah.