Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan uji materi yang diajukan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono, terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Menurut majelis hakim MK, Ferry tidak memiliki kerugian konstitusional dalam mengajukan permohonan a quo lantaran gugatannya tidak mewakili Partai Gerindra atau gabungan partai politik lainnya. Selain itu, Ferry juga tidak dapat menunjukan bukti bahwa dia merupakan calon presiden atau wakil presiden dari Partai Gerindra atau gabungan parpol lainnya.
Dari sembilan hakim MK, lima hakim di antaranya, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Wahiduddin, dan Aswanto menyatakan permohonan a quo Ferry tidak dapat diterima. Sementara, empat hakim lainnya, yakni Manahan Malontinge Pardamean Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Saldi Isra memiliki pandangan yang berbeda atau disenting opinion.
"Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, dan seterusnya, amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan yang digelar secara daring, Kamis (24/2).
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan Hakim MK, Arief Hidayat, disebutkan subjek hukum yang memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan adalah presiden dan wakil presiden. Oleh karenanya, pemilik kedudukan hukum untuk mengajukan norma permohonan yang diujikan MK adalah partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu.
Hal itu, menurutnya, diatur dalam Putusan MK Nomor 74 dan seterusnya, tahun 2020 bertanggal 14 Januari 2021. Kemudian, secara eksklusif tercantum dalam Pasal 6a ayat (2) UUD 1945.
Selain itu, di dalam putusan MK telah menegaskan mekanisme dan sistem penentuan syarat ambang batas untuk mengusulkan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014 berbeda dengan pemilu 2019. Di mana, kata Arief, pada Pemilu 2014 belum mengetahui hasil pemilihan anggota legislatif akan digunakan sebagai prasyarat ambang batas untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres. Sehingga, MK pernah memberikan kedudukan hukum bagi pemilih perseorangan.
"Sedangkan pada Pemilu 2019, pemilih telah mengetahui hasil pemilihan legislatif tersebut akan dipakai untuk menentukan ambang batas dalam menentukan pengusung calon presiden dan wakil presiden," ujar Arief.
Arief menegaskan, berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, jelaslah Mahkamah telah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma terkait ambang batas pencalonan pasangan capres dan cawapres.
"Bahwa parpol atau gabungan parpol peserta pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian pasal 122 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 sejalan dengan konstitusi yaitu Pasal 6a ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden ditentukan oleh parpol atau gabungan parpol, bukan oleh perseorangan," kata Arief.
Menurut Arief, dalam permohonannya, pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal a quo karena membatasi hak konstitusional pemohon untuk mendapatkan calon alternatif presiden dan wapres, karena besar kemungkinan hadirnya calon tunggal atau paslon.
Menurut Mahkamah, kata Arief, hal tersebut tidaklah beralasan karena pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam Pileg 2019 akan digunakan juga sebagai persyaratan ambang batas pencalonan capres dan wapres di 2024 yang hanya dapat diusulkan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Oleh karena itu, tidak terdapat kerugian konstusional yang dialami pemohon.
Arief melanjutkan, persoalan jumlah capres dan cawapres yang akan berkontestasi dalam pilpres tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UUD Nomor 7 tahun 2017. Alasannya, norma a quo tidak membatasi jumlah capres dan cawapres yang berhak mengikuti pilpres.
Dengan demikian, tegas Arief, selain pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional pemohon sebagai pemilih dalam pemilu.
Arief menerangkan, adapun kedudukan pemohon sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, sehingga memiliki hak untuk dipilih pemohon dalam sidang pendahuluan pada 6 Januari 2022 menyatakan diri bukan sebagai pihak yang mewakili Partai Gerindra, sehingga tidak melampirkan surat izin dari partai.
Selain itu, pemohon tidak menjelaskan sebagai pihak yang mendapatkan dukungan atau dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden dari Partai Gerindra atau gabungan partai, serta tidak terdapat bukti berkenaan dengan syarat pencalonan.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak terdapat kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksud pemohon. Seandainya pemohon didukung oleh Partai Gerindra atau gabungan partai politik lainnya untuk mencalonkan diri sebagai presiden/wapres semestinya menunjukan bukti itu pada Mahkamah," kata Arief Hidayat.