Hanya lewat pembahasan selama tiga hari, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan gugatan terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati yang diajukan Partai Garuda. Dalam gugatannya, Partai Garuda mempersoalkan aturan batas usia calon kepala daerah pada PKPU.
Putusan MA dirilis, Rabu (29/5). Dari penelusuran, Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana diketahui mendaftarkan perkara itu ke MA pada 23 April 2024. Namun demikian, berkas perkara baru diterima oleh majelis hakim yang beranggotakan Yulius, Cerah Bangun, dan Yodi Martono pada 27 Mei 2024.
Dalam putusannya, MA mengubah cara penghitungan usia calon. Semula, usia minimal kandidat dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni minimal 30 tahun untuk pemilihan gubernur (pilgub) dan 25 tahun untuk pemilihan wali kota (pilwalkot) atau pemilihan bupati (pilbup).
Namun, MA menetapkan bahwa mereka yang berusia di bawah 30 tahun boleh mengajukan diri menjadi kandidat di pilgub, baik sebagai cagub maupun cawagub. Dengan catatan, kandidat sudah berusia 30 tahun saat dilantik. Dalil serupa juga dikeluarkan untuk syarat usia kandidat di pilbup dan pilwalkot, yakni harus berusia 25 tahun saat dilantik.
Pakar hukum tata negara Refly Harun menyebut putusan itu dirilis semata untuk mengakomodasi kepentingan politik putra bungsu Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep. Ketua Umum PSI ini digadang-gadang bakal diusung sebagai calon wakil gubernur DKI Jakarta.
“Ini putusan sontoloyo, ya,” katanya kepada Alinea.id, Kamis (30/5).
Kaesang saat ini berusia 29 tahun. Jika berbasis PKPU lama, Kaesang tak bisa mendapatkan tiket kandidat di Pilgub DKI karena aturan batas usia minimum calon gubernur yang diatur KPU. Kaesang baru bakal berusia 30 tahun pada Desember mendatang, sedangkan Pilgub DKI bakal digelar pada November.
Menurut Refly, putusan MA serupa dengan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan itu membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, untuk maju di Pilpres 2024.
“Yang jelas hukum dibolak-balik seenak udelnya aja untuk mengakomodasi keluarga Jokowi. Satu (putusan MK) untuk Gibran dan satu (putusan MA) untuk Kaesang,” jelas Refly.
Dalam gugatannya, Garuda berdalih PKPU No. 9/2020 bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Namun, Refly memandang tak ada substansi yang bertentangan dalam PKPU dan UU Pilkada. “Bertentangan dengan keinginan Jokowi, ya, benar,” imbuhnya.
Lebih jauh, Refly menilai putusan MA kian memperburuk citra penguasa saat ini. Publik, kata dia, tidak akan percaya jika pemerintah punya niat memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). “Ini aja udah ada tanda-tandanya (KKN),” cetus Refly,
Direktur Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menilai putusan MA merupakan indikasi berlanjutnya praktik-praktik nepotisme di lingkaran kekuasaan. Namun, ia meyakini Jokowi tak "bermain" sendirian.
“Namun, wajar juga kalau ada anggapan menggolkan Kaesang. Berangkat dari Gibran yang menggaet suara anak muda, elite-elite politik ingin mengulang kembali,” ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (31/5).
Adib berpendapat tak ada salahnya jika ruang politik bagi kaum muda dibuka seluas-luasnya. Sayangnya, untuk putusan MA, nuansa kepentingan politik jauh lebih kental.
“Aturan yang diubah tiba-tiba memang kental dengan kepentingan politik, tetapi selama mengakomodir pemilih pemula yang ngambang dengan dominasi gen Z, itu jadi hikmahnya,” ujarnya.