Sejumlah anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat menggelar audiensi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/5). MRP menggelar audiensi dengan Jokowi perihal pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Daerah Otonomi Khusus di Provinsi Papua yang di dalam mengenai Daerah Otonomi Baru (DOB).
Saat menerima MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat, Jokowi didampingi Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Sekertaris Kabinet Pramono Anung.
Diketahui, pemekaran wilayah Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Tengah melalui DOB ini mendapat penolakan yang memicu demonstrasi pekan lalu.
Rombongan MPR dipimpin oleh Bupati Jayapura Mathius Awoitauw. Menurut Mathius, kehadiran MPR merupakan murni mewakili masyarakat Papua dan Papua Barat. Saat mendatangi Istana Bogor, anggota MPR ini terdiri dari tiga kelompok kerja (pokja) yakni Pokja Adat, Pokja Agama, dan Pojka Perempuan.
"Hari ini diterima dengan baik oleh Bapak Presiden untuk mengklarifikasi mengenai simpang siurnya informasi mengenai penerapan pelaksanaan Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan di dalamnya adalah daerah otonomi baru, khusus untuk di Provinsi Papua, ada DOB Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Tengah," kata Mathius dalam konferensi pers yang disiarkan akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (20/5).
Menurut Mathius, rencana pembentukan daerah otonomi baru tersebut merupakan aspirasi murni warga Papua yang telah diperjuangkan sejak lama. Papua Selatan misalnya, kata dia, telah diperjuangkan selama 20 tahun.
"Jadi ini bukan hal yang baru muncul tiba-tiba. Tetapi ini adalah aspirasi murni, baik dari Papua Selatan maupun Tabi, Saereri, juga La Pago dan Mee Pago," ungkap dia.
Mathius menjelaskan, aspirasi yang didorong berdasarkan pada wilayah adat, bukan berdasarkan demonstrasi di jalan. Menurutnya, masyarakat Papua berharap bagaimana DOB ke depan itu bisa menjadi harapan mereka untuk mempercepat kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.
Menurut Mathius, Undang-Undang Otsus pada dasarnya mengikat semua masyarakat di seluruh tanah Papua sehingga ada kepastian hukum untuk mengelola ruang-ruang yang dimiliki oleh masyarakat adat berdasarkan tujuh wilayah adat di tanah Papua.
"Kita butuh itu kepastian. Karena itu, kalau pemekaran itu, itu masalah administrasi pemerintahan, tapi ke Papua itu diikat dengan Undang-Undang Otsus. Persoalan kita adalah implementasinya, harus konsisten baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, pemerintah daerah. Di situ persoalannya sebenarnya," jelasnya.
Dia menilai, UU Otsus juga akan memberikan kepastian hukum terhadap ruang kelola hak-hak pemetaan wilayah adat. Dengan adanya kepastian hukum tersebut, diharapkan bisa menyelesaikan persoalan lahan di Papua.
"Konflik Papua sebenarnya masalah lahan, karena itu perlu ada kepastian di sini dan dia bisa menyelesaikan, mengurangi persoalan-persoalan di Papua, dan kepastiannya hanya melalui Undang-Undang Otsus," kata dia.
Selain itu, Mathius melanjutkan, daerah otonomi baru juga akan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat karena tantangan utama adalah kondisi geografis.
"Berapapun dananya diturunkan dalam Otsus, tapi kalau geografis yang sulit, seperti yang ada sekarang, itu tetap akan mengalami hambatan-hambatan luar biasa. Karena itu daerah otonomi baru adalah solusi untuk bisa mempercepat kesejahteraan Papua dan Papua Barat," pungkas dia.