Mudarat eksistensi anggota timses di jajaran honorer pemda
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan kebijakan untuk melarang anggota tim sukses kepala daerah terpilih diboyong jadi pegawai di lingkungan pemda. Menurut dia, praktik balas jasa semacam itu bakal marak pasca-Pilkada Serentak 2024.
"Plkada langsung baru saja terjadi dan juga kita pahami kadang-kadang siapa pun calon terpilih atau gubernur terpilih, biasanya suka memasukkan tim sukses untuk menjadi honorer atau PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja)," kata Dede di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (30/12) lalu.
Anggota timses yang diangkut jadi pegawai di lingkungan pemda hanya bakal jadi benalu karena tak punya komptetensi memadai. Jika jumlahnya terlampau banyak, APBD bakal tergerus untuk mengongkosi keberadaan mereka di jajaran pegawai pemda.
"Kepala daerah terpilih harus mendahulukan pegawai yang sudah masuk ke dalam data dengan ketentuan masa kerja yang sudah lebih lama. Sehingga jangan sampai ada seseorang yang tiba-tiba diambil menjadi pegawai honorer atau PPPK," kata Dede.
Eksistensi pegawai honorer dari kalangan timses kepala daerah sebelumnya juga sempat dikeluhkan Mendagri Tito Karnavian. Di depan puluhan kepala daerah yang berkumpul di Kantor Kemendagri, Tito blak-blakan mengungkap praktik memboyong anggota timses jadi pegawai pemda yang lazim dilakukan kepala daerah terpilih.
Menurut Tito, anggota timses yang direkrut biasanya dipekerjakan untuk menjadi tenaga administrasi. "Jam 8 masuk, tidak punya keahlian, jam 10 sudah ngopi-ngopi. Mereka sudah hilang (dari kantor pemda),” tutur Tito.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman membenarkan pengangkatan anggota timses kepala daerah sebagai pegawai pemda lazim terjadi di berbagai daerah. Persoalan klasik itu terus berulang karena tidak pernah ada sanksi tegas kepada kepala daerah terpilih.
Padahal, larangan pengangkatan tenaga honorer dari kalangan timses sudah termuat dalam sejumlah regulasi, semisal UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
"Di PP Nomor 49 Tahun 2018 itu juga ditegaskan lagi soal pelarangan pengangkatan tenaga honorer. Itu tenaga di luar PNS dan PPPK. Tetapi itu tidak pernah diindahkan oleh kepala daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten dan kota," kata Herman kepada Alinea.id, Jumat (3/1).
Herman menyebut pengangkatan anggota tim sukses menjadi pegawai honorer adalah bentuk korupsi yang membebani APBD dan merugikan negara. Seharusnya, pemerintah memberikan sanksi tegas bagi kepala daerah yang menjalankan praktik semacam itu.
"Sebetulnya dari proses identifikasi itu, ada proses audit segala macam, baik yang sifatnya internal maupun yang eksternal. Internal seperti inspektorat dan eksternal seperti BPK dan juga pengawasan kolaboratif dari masyarakat. Itu yang paling efektif. Kalau tidak, ya jadi problem berulang dan setiap kali pemerintah pusat selalu mengancam. Tetapi, tidak ada bukti," kata Herman.
Menurut Herman, pengawasan terhadap praktik pengangkatan anggota timses jadi pegawai honorer mesti diperkuat. Kemendagri perlu menggandeng lembaga masyarakat sipil dan media massa untuk mengawasi. Terlebih, saat ini Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sudah dibubarkan.
"Mekanisme pengawasan terkait pengangkatan tenaga honorer ini mesti diperkuat. Pertama, soal ketentuan sanksi itu. Sanksi itu benar-benar harus eksplisit disampaikan ke pemda, semisal sanksi A, B, C, dan D. Harus ada sanksi kalau dia (kepala daerah) berani pakai tenaga honorer dan gajinya itu pakai APBD," kata Herman.
Dosen ilmu pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), Yusuf Fadli membenarkan praktik merekrut anggota timses jadi pegawai honorer melanggar aturan. Sesuai UU ASN dan Peraturan MenPAN-RB No. 14 Tahun 2023, hanya ada dua jenis pegawai di lingkungan pemda, yaitu PNS dan PPPK.
"Di mana sistem rekrutmen kedua jenis pegawai ini dilakukan secara nasional oleh pemerintah pusat dengan waktu-waktu tertentu," kata Yusuf kepada Alinea.id, Jumat (3/1).
Jika memang anggota timses punya kapasitas dan dibutuhkan kepala daerah terpilih, menurut Yusuf, semestinya anggota timses tersebut mengikuti seleksi terbuka dan berkompetisi dengan yang lain. Rekrutmen pegawai honorer tanpa mengikuti mekanisme yang berlaku merupakan pelanggaran terhadap UU ASN.
"Perlu diingat bahwa pada tahun 2025, instansi pemerintah mana pun dilarang merekrut tenaga honorer baru. Akan tetapi, sebagai antisipasi, bisa saja Kemendagri membuat aturan/regulasi yang ketat, jelas, dan tegas mengenai larangan pengangkatan tim sukses menjadi pegawai di pemerintahan daerah tanpa mengikuti aturan yang sudah berlaku," jelas Yusuf.
Dari sisi ilmu administrasi, menurut Yusuf, pengangkatan pegawai honorer dari jajaran anggota timses punya beragam dampak buruk. Salah satunya ialah penurunan kualitas pelayanan publik di lingkungan pemda lantaran pegawai yang diangkat berdasarkan loyalitas ketimbang kompetensi.
"Dampak moralnya, para pegawai lain merasa bahwa pengangkatan tidak transparan dan berdasarkan hubungan pribadi dapat menurunkan moral dan motivasi kerja. Kemudian, konflik kepentingan, yakni menguatnya konflik kepentingan di dalam pengambilan kebijakan," kata Yusuf.