Mudarat koalisi gemuk kabinet pemerintahan mendatang
Kendati Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 masih harus menunggu putusan sidang sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa pihak mulai membicarakan kemungkinan yang terjadi. Salah satunya, koalisi gemuk dalam kabinet pemerintah terpilih ke depan.
Pakar Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth mengutarakan, untuk menyusun kabinet yang ramping dinilai sulit bagi pemerintah terpilih. Terutama bila pasangan nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) Ma'aruf Amin menang.
Koalisi yang beragam akan menjadi tantangan bagi pasangan nomor urut 01 mengingat kemungkinan dua partai pendukung pasangan 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Salahuddin Uno, yakni PAN dan Demokrat merapat. Walhasil, koalisi yang gemuk dan tidak sehat akan lahir dan dampaknya adalah kestabilan pembangunan.
"Padahal seharusnya pemerintah harus dapat melihat prioritas dan kepentingan nasional untuk mencapai Indonesia yang stabil dan sejahtera. Itu yang harus jadi acuan," kata Adriana kepada Alinea.id.
Apabila ingin melahirkan kestabilan, pemerintah terpilih tidak lazim memberikan oposisi atau partai politik (parpol) di luar pendukungnya pada Pilpres 2019 masuk dalam kabinet.
Namun bila hal tersebut tetap dilakukan, pemerintah terpilih harus membatasi porsinya. Misalnya, kata Adriana memberikan porsi pada kementerian teknis dan bukan strategis dalam sistem pemerintahan ke depan.
Adriana bilang dalam keadaan politik saat ini, semua kemungkinan dapat terjadi. Upaya menggaet parpol oposisi bisa dilakukan karena pertimbangan menjaga dukungan politik namun bagi parpol oposisi hal tersebut bisa jadi hanya sekadar pragmatisme untuk mendapatkan porsi kekuasaan.
Pragmatisme, lanjut Adriana tidak bisa dihindari. Lantaran menjadi bagian dari strategi mendapatkan kekuasaan.
Pertimbangan praktisnya adalah berdasarkan kemampuan partai dalam berkontribusi positif bagi keberhasilan pembangunan dan secara teknis dapat diukur.
"Yang penting diperbaiki adalah koordinasi dan sinergi, selain untuk efisiensi anggaran. Jadi tetap yang utama adalah kemampuan menyelesaikan masalah atau menyelesaikan agenda pembangunan yang tertunda," papar Adriana.
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarifhidayatullah Adi Prayitno menambahkan, lahirnya koalisi gemuk di pemerintahan akan berimplikasi pada banyaknya kompromi politik dalam menentukan kebijakan politik ke depan.
Sejauh ini komposisi koalisi pemerintah dan oposisi sebenarnya sudah relatif ideal. Persentase 60% untuk koalisi pemerintah dan 40 % untuk kubu oposisi adalah yang idealnya dan harus dipertahankan. Guna menjaga check and balance dalam sistem pemerintahan.
Saran Adi, mestinya pemerintah nanti tidak perlu membuka pintu koalisi terhadap partai yang dalam Pemilu 2019 bukan sebagai partai pendukung demi seimbangnya politik dan sehatnya parlemen.
"Bila tidak dikelola hati-hati, koalisi gemuk bisa mengganggu kinerja pemerintah yang ingin cepat merealisasikan janji politiknya pula," terang Adi kepada Alinea.id.
Koalisi gemuk cenderung lamban karena berpotensi begitu banyak mengakomodasi kepentingan politik. Pemerintah dalam menentukan koalisi harus sesuai dengan keinginan awal yang ingin mempercepat pemerataan pembangunan.
Merusak konsolidasi
Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpendapat, koalisi pendukung pemerintahan idealnya memang mesti dominan dibandingkan dengan oposisi.
Kondisi ini sesungguhnya menjadi cita-cita pelaksanaan pemilu serentak agar sistem presidensial yang dianut benar terkonsolidasi dengan baik.
"Harapannya, presiden dan wakil presiden terpilih akan dengan mulus menjalankan program-program mereka karena mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Dukungan mayoritas parlemen melalui koalisi pendukung pemerintah ditengarai akan mengurangi ketegangan yang muncul akibat perlawanan oposisi atas usulan kebijakan pemerintah," papar Lucius kepada Alinea.id.
Lewat pelaksanaan pemilu serentak, koalisi pun sudah terbentuk sejak awal. Pada proses penyelenggaraan pemilu lalu, kelompok pendukung capres-cawapres sudah mulai menempatkan diri dalam format relasi saling kontrol.
Bagi Lucius, tidak ada program salah satu paslon yang mutlak benar, ketika lawannya punya pandangan berbeda atasnya. Relasi ini sesungguhnya yang diharapkan oleh sistem demokrasi, sehingga kebijakan yang akan diambil selalu harus melalui diskursus terbuka yang memungkinkan kebijakan tersebut berdampak luas bagi masyarakat.
"Koalisi dan oposisi harus selalu berada dalam diskursus terus menerus. Guna memastikan pemerintah tidak melahirkan kebijakan yang timpang," tegas Lucius.
Kelahiran koalisi dan oposisi sejak tahap awal pemilu sesungguhnya merupakan gambaran penyelenggaraan pemerintahan terpilih.
Menurutnya, koalisi yang sudah terbentuk sejak awal harusnya sudah mengetahui dengan baik program-program dan kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah di bawah koordinasi presiden dan wakil presiden terpilih.
Koalisi juga sudah teruji melakukan konsolidasi untuk membangun kerjasama yang kompak antar parpol pendukung pemerintahan.
Oleh sebab itu, dikatakan Lucius, mestinya koalisi yang sudah terbentuk sejak awal pemilu tak perlu lagi diganggu dengan kehadiran parpol-parpol baru. Kehadiran parpol-parpol baru justru bisa merusak konsolidasi yang sudah dibangun selama masa kampanye.
Sementara itu, kehadiran parpol baru dalam koalisi bisa mengacaukan program dan kebijakan yang sudah dirancang selama masa kampanye.
Relasi yang kuat antar parpol koalisi terancam retak melalui kehadiran anggota koalisi yang muncul belakangan. Relasi antar parpol koalisi yang sudah teruji selama kampanye juga akan rapuh ketika parpol baru yang bergabung justru mengubah banyak hal dalam rumah koalisi.
Lucius menilai upaya koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf yang berupaya untuk menggaet PAN dan Demokrat adalah hal yang blunder. Koalisi yang sesungguhnya sudah kuat baik dari sisi konsolidasi internal maupun jumlah kursi di parlemen belum dapat memastikan Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf berjalan mulus.
Semuanya nampak kurang percaya diri atau ketakutan melawan oposisi. Partai koalisi masih memastikan kekuatannya mendominasi jalannya pemerintahan.
Nah, upaya menggaet parpol tambahan untuk bergabung di koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf seperti menunjukkan mimpi koalisi untuk menyingkirkan sebanyak mungkin halangan. Agar partai koalisi dapat berbuat apa saja tanpa perlu khawatir dengan perlawanan atau penolakan oposisi.
Lucius merasa seperti mimpi untuk membangun pemerintahan yang cenderung otoriter, bukan pemerintahan yang kuat semata.
"Di balik keinginan untuk menambah parpol koalisi, semua tahu ideologi parpol yang ada saat ini baik di koalisi maupun oposisi masih saja tetap mengacu pada semangat pragmatisme. Pembicaraan yang nampak ideologis dan pro rakyat sepanjang masa kampanye kadang hanya demi meraup suara saja," ucap Lucius.
Saat kekuasaan benar-benar dalam genggaman, pragmatisme yang kemudian akan menjadi kendali atas kekuasaan itu.
Bila koalisi tetap dengan semangat menambah parpol, sementara parpol-parpol masih pragmatis. Maka nasib pemerintahan justru terancam dengan kesibukan meladeni nafsu dan kepentingan parpol-parpol untuk bagi-bagi kekuasaan.
Semangat ini, kata Lucius terlihat dari niat sejumlah parpol baru di kubu koalisi pendukung Jokowi - Ma'ruf. Setelah dipastikan dapat kembali berkuasa, sejumlah partai punya kepentingan untuk menikmati kekuasaan itu caranya dengan bergabung bersama pemegang kekuasaan.
Akibatnya, peta kekuatan koalisi berubah dengan kehadiran parpol baru. Koalisi pendukung pemerintahan akan menjadi sangat rapuh dengan nafsu bagi-bagi kekuasaan yang akan dominan.
Koalisi yang gemuk, tidak ada jaminan partai-partai pendukung akan terus kompak dalam mendukung pemerintahan karena kehadiran parpol baru sangat mungkin mengubah konsep kebijakan yang sudah disepakati koalisi selama masa kampanye.
"Keretakan hubungan antar parpol koalisi akan menjadi gangguan yang serius terhadap kerja pemerintahan terpilih," cetus Lucius.