Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai sistem pemilu dengan model proporsional terbuka sarat masalah. Muhammadiyah menawarkan dua opsi sistem pemilu alternatif.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menilai sistem proporsional terbuka seperti ‘kanibalisme politik'. Oleh karenanya, sistem itu perlu dievaluasi.
"Sistem proporsional terbuka menimbulkan praktik politik uang, hingga persaingan tidak sehat antara para calon anggota legislatif. Akibatnya, tak jarang kualitas anggota legislatif yang terpilih tidak ideal dan buruk," kata Mu’ti kepada wartawan, Senin (2/1).
Menurut Mu'ti, masyarakat cenderung memilih figur yang populer dan bermodal, sehingga kekuatan uang terasa begitu dominan. Ia menilai, sistem proporsional terbuka menjadikan peran partai politik melemah karena tidak bisa menominasikan kadernya untuk menjadi anggota legislatif.
"Selain itu, polarisasi politik yang sangat serius. Persaingan menimbulkan politik identitas, yang kadang-kadang dilandasi sentimen-sentimen primordial, baik primordialisme keagamaan, kesukuan, atau kedaerahan," ujarnya.
Sebagai solusi menggantikan sistem proporsional terbuka, Mu’ti mengatakan, PP Muhammadiyah menawarkan dua opsi sistem pemilu alternatif. Pertama, sistem proporsional tertutup. Sistem ini membuat pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat.
"Misalnya, partai politik dapat satu kursi. Maka, yang jadi otomatis (kandidat) nomor 1. Sehingga, mereka (kandidat lain) yang di (nomor urut) bawahnya tidak akan memaksa diri untuk jadi (anggota legislatif)," ujar dia.
Kedua adalah istem proporsional terbuka-terbatas. Sistem ini, menetapkan kandidat terpilih mengikuti perolehan suara, misalnya dari sejumlah kandidat dalam satu parpol, calon terpilih adalah yang suaranya memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP).
"Usulan terkait sistem proporsional tertutup ini juga telah disampaikan Muhammadiyah sejak Tanwir Muhammadiyah 2014 di Samarinda," tandasnya.