Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan angka partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di atas 82%. Sebab, menjadi salah satu indikator suksesnya kontestasi selain memengaruhi legitimasi kandidat terpilih.
Sekalipun trennya menurun, fenomena golongan putih (golput) atau kelompok yang tidak memilih masih akan membayang-bayangi pelaksanaan Pemilu 2024. Istilah golput dideklarasikan Arief Budiman cs di Jakarta sebelum Pemilu 5 Juli 1971 digelar karena alasan ideologis. Jumlah golput mencapai 30,2% pada Pemilu 2014 dan turun menjadi 18,2% pada Pemilu 2019.
Wacana untuk golput sudah muncul jauh-jauh hari. Ini seperti tergambar dari spanduk bertuliskan "2024 Golput. Pilihan realistis atas matinya keadilan di +62" yang terbentang di sebuah jembatan penyeberangan orang (JPO) di Kota Malang, Jawa Timur (Jatim), pada akhir Maret 2023.
Spanduk diduga dipasang suporter sepak bola Aremania dan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, yang menewaskan 135 nyawa, karena kecewa terhadap putusan vonis Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) juga memantik gerakan golput pada Pemilu 2024. Hal tersebut seperti yang disuarakan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, lantaran belum ada satu pun kandidat pemilihan presiden (pilpres) yang berkomitmen merevisi regulasi sapu jagat (omnibus law) itu hingga kini.
Dominasi pemilih milenial (kelahiran 1981-1996) dan generasi Z (1997-2012), yang mencapai lebih dari 100 juta pemilih pada daftar pemilih tetap (DPT), disebut-sebut juga akan meningkatkan angka golput. Pangkalnya, mereka kurang tertarik dengan politik. Benarkah demikian?
Berdasarkan data KPU, jumlah pada Pemilu 2024 mencapai 204.807.222 orang. Milenial terbanyak dengan 68.822.389 pemilih, disusul gen X (1965-1980) 57,486.482 pemilih, gen Z 46.800.161 pemilih, baby boomer (1946-1964) 28.127.340 pemilih, pre-boomer (<1945) 3.570.850 pemilih, dan di bawah 17 tahun tetapi telah menikah 6.697 pemilih.
Peneliti Charta Politika, Ardha Ranadireksa, mengakui golput masih akan terjadi pada Pemilu 2024. Namun, faktornya bukan karena ideologi semata, melainkan dipengaruhi persoalan lain.
"Golput tidak hanya dikarenakan tidak mau memilih paslon yang ada, akan tetapi juga tidak jarang terjadi karena adanya kesalahan-kesalahan administrasi pemilih. Misalnya, tidak terdaftar di TPS (tempat pemungutan suara) dan sebagainya," tuturnya kepada Alinea.id, Senin (30/10).
Pada kesempatan terpisah, juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Sunanto, menyatakan, pihaknya tak mengesampingkan kelompok golput. Baginya, semua suara berharga dan memiliki nilai yang sama.
Oleh karena itu, TPN Ganjar-Mahfud mengerahkan anggotanya agar memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat. Harapannya, meraih simpati sehingga nantinya mencoblos pasangan yang diusung koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini di bilik suara.
"Kepada golput, dengan memberi penjelasan ke mereka supaya jangan sampai golput," ujar Cak Nanto, sapaannya, kepada Alinea.id.
Ia melanjutkan, TPN Ganjar-Mahfud sudah menyiapkan strageti untuk pemenangan jagoannya. Bahkan, mengumpulkan data sebagai bahan pengambilan langkah pemenangan.
Di sisi lain, merujuk laman Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), seseorang yang melakukan golput terbebas dari pidana pemilu selama tidak mengajak orang lain dengan iming-iming berupa janji atau memberikan sejumlah uang atau materi. Pangkalnya, golput termasuk kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dan tidak dilarang dalam UU Pemilu.
Namun, apabila disertai janji atau memberikan uang atau materi kepada orang lain agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih kandidat tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara tidak sah, maka terancam pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta. Ini diatur dalam Pasal 515 UU Pemilu.