Nasib Golkar diambang pecah kongsi KIB
Selepas PDI-P mengumumkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden (capres) pada 21 April 2023, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP tampak “goyang”. Pada 30 April 2023, elite PPP bertemu PDI-P di Kantor DPP PDI-P, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan bakal capres PDI-P Ganjar hadir.
Partai berlambang Ka’bah itu mendukung Ganjar sebagai bakal capres. Dalam kesempatan tersebut, Plt Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono pun mengajak PAN dan Partai Golkar ikut mendukung Ganjar.
Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi mengaku, partai berlambang matahari putih bersinar cerah itu juga mendekati PDI-P. Elite PAN merasa perlu segera mengambil keputusan besar merapat ke partai berlogo banteng moncong putih, selagi peluang berkoalisi masih terbuka lebar. Apalagi sejauh ini, KIB belum punya bakal capres.
“Kami ingin semua partai di KIB mendukung Ganjar,” kata Viva saat dihubungi Alinea.id, Minggu (30/4).
Viva memandang, lebih baik partai politik yang tergabung dalam KIB merapat mendukung Ganjar, ketimbang harus bubar. Alasannya, bisa menambah suara dan berpeluang memenangkan Pilpres 2024.
“Jika tetap bersatu, maka KIB ya mendukung Ganjar," ucap Viva.
Manuver PAN mengusung Ganjar
KIB adalah koalisi partai politik pertama untuk menghadapi Pemilu 2024. KIB dibentuk pada 12 Mei 2022, usai pertemuan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan mantan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa di Menteng, Jakarta Pusat.
Koalisi ini dibentuk sebagai upaya mengajukan pasangan calon pada Pilpres 2024. Disebutkan dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasangan calon bisa diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Hasil Pemilu 2019 mencatat, Partai Golkar memperoleh suara 12,31% dari total suara sah nasional. Lalu, PAN mendapat 6,84% dan PPP 4,52%. Jika digabungkan, total perolehan suara tiga partai politik itu sebesar 23,67%.
Sedangkan jumlah total kursi Golkar, PAN, dan PPP di DPR 26,82%. Rinciannya, dari total 575 kursi di DPR, Golkar mendapat 85 kursi, PAN 44 kursi, dan PPP 19 kursi. Artinya, bila digabungkan, partai politik dalam KIB memperoleh 148 kursi.
Di sisi lain, Viva yakin PDI-P bakal memberikan ruang terhadap semua partai politik KIB. Karena semua partai politik dalam KIB pernah punya rekam jejak berkoalisi dengan PDI-P di perhelatan sejumlah pilkada.
“Dari persepektif ideologi partai, PAN dan PDI-P relatif tidak berbeda, sebagai partai nasionalis kerakyatan,” tutur Viva.
“Hal ini akan semakin memudahkan dalam rencana kerja sama di pilpres.”
Kendati demikian, Viva mengakui, bukan perkara gampang berkoalisi dengan PDI-P. Terlebih bila sudah menyangkut nama bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Ganjar.
“Soal calon wakil presiden tentu akan didiskusikan secara kekeluargaan, dengan prinsip sebaiknya memiliki nilai tambah untuk meningkatkan elektoral, mencerminkan kombinasi ideal sesuai masyarakat Indonesia yang plural, serta memiliki visi yang futuristik,” katanya.
Akan tetapi, jika salah satu partai politik KIB tak sepakat merapat mendukung Ganjar, Viva mengatakan, otomatis koalisi itu bubar. Sebab, tak lagi punya visi yang sama dalam memenangkan Pilpres 2024.
"Namanya satu rumah dan satu kasur, tapi beda mimpi. Beda pilihan calon presidennya," ucap Viva.
Meskipun, kata Viva, sejauh ini tiga partai politik di KIB belum memutuskan membubarkan diri dan masih memantau peta koalisi yang paling kuat. Paling tidak hingga pendaftaran pasangan capres dan cawapres pada September 2023.
"Kita tunggu proses politik selanjutnya. Masih banyak waktu untuk melakukan komunikasi," ujar Viva.
Sementara politikus PAN Guspardi Gaus mengungkapkan, partai politik dalam KIB masih malu-malu membubarkan diri, walau masing-masing telah bermanuver. "Golkar juga sedang ikhtiar dengan berusaha mencalonkan Airlangga ke koalisi lain. Tapi belum final juga mereka," kata Guspardi, Sabtu (29/4).
Guspardi mengakui, sebenarnya PAN sudah mendukung Ganjar saat Rakernas PAN di Semarang pada 26 Februari 2023. Selain mengusung Menteri BUMN Erick Thohir.
Ia menyebut, cara paling realistis mempertahankan KIB adalah dengan mendukung salah satu pasangan calon yang sama. Namun, bila mengambil jalan yang berbeda, KIB dipastikan bubar.
“Semisal KIB itu sama saja formatnya dengan PDI-P, lalu bergabung menjadi satu. Atau bisa sama dengan Prabowo (Gerindra) dan PKB,” katanya.
Partai Golkar sendiri masih berusaha membuka ruang terhadap koalisi Gerindra-PKB (Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya) serta Nasdem, PKS, dan Demokrat (Koalisi Perubahan untuk Persatuan).
Pada Sabtu (29/4) malam, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto menyambangi kediaman mantan presiden sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor. Selain bertemu SBY, Airlangga pun bersua Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.
Lalu, pada Senin (1/5) Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto menyambangi keduaman Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie di Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu, Airlangga ikut hadir.
Diprediksi jadi kameo
Menurut Ketua DPP Partai Golkar, Dave Laksono, partainya masih bersikeras mencalonkan Airlangga. “Karena Golkar masih tetap berpegang pada putusan munas (musyawarah nasional) kami, tidak ada perubahan dalam kebijakan mengenai pilpres,” tutur Dave, Senin (1/5).
Dave membantah KIB diambang cerai dan menyatakan koalisi tetap solid. Meski semua partai politik di dalamnya tengah berpencar mendekati poros koalisi lain yang sudah punya figur bakal capres. Dave pun mengakui, Golkar sedang mendekati Demokrat untuk membuka kemungkinan berkoalisi.
"Nanti bila sudah jelas arah pembicaraan dan kepastian, baru kami umumkan," ucap Dave.
Sementara itu, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak menilai, secara politik KIB sudah bubar. Tak punya bobot politik lagi, selepas PPP dan PAN merapat mendukung Ganjar, mengikuti rima Istana.
“Sudah tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari KIB,” kata Zaki, Minggu (30/4).
Menurut Zaki, sejak awal PPP dan PAN memang “dikendalikan” Istana, sehingga setengah hati berkoalisi dengan Golkar. Potret itu semakin nyata usai Ganjar diumumkan sebagai bakal capres dari PDI-P, yang disambut positif PPP dan PAN.
"KIB itu sebenarnya koalisi yang semu. Semua tahu di belakang PAN dan PPP itu ada Istana," ucap Zaki.
Zaki mengatakan, PPP dan PAN memang dirancang Jokowi untuk menopang calon pilihan Istana, sekaligus mempreteli kekuatan politik lawan. Maka, ia merasa terlalu naif bila Golkar bisa berkolaborasi dengan PPP dan PAN untuk mencalonkan capres-cawapres.
"Karena dua partai (PPP dan PAN) ini sejak awal di-setting untuk melanggengkan kekuasaan dari kelompok yang sekarang sedang berkuasa," ujar Zaki.
Bagi Zaki, Golkar saat ini ibarat layangan putus yang kehilangan arah. Hal itu mengakibatkan Airlangga kalang kabut mencari gerbong koalisi lain, agar tetap bisa berperan pada Pilpres 2024.
"Sekarang posisi Golkar itu ditinggal oleh PPP dan PAN. Golkar mendekati SBY dan Prabowo karena KIB sudah tidak bisa diharapkan lagi," kata Zaki.
Walau demikian, Zaki memprediksi, Golkar bakal hanya menjadi penggembira di koalisi mana pun. Soalnya, pertaruhan politik partai berlambang pohon beringin itu sudah gagal sebelum bertarung. Akibatnya, tak lagi punya nilai tawar yang kuat untuk mencalonkan figur cawapres kepada koalisi yang sudah memiliki capres potensial.
“Dia (Golkar) tidak mungkin jadi pemain utama di koalisi Nasdem, PKS, dan Demokrat ataupun Gerindra-PKB,” ujarnya.
Situasi ini makin diperburuk lantaran partai yang identik dengan warna kuning itu tak memiliki figur dengan magnet elektoral. Selain itu, para elite Golkar sejak dinamika Pemilu 2024 menghangat tak punya arah politik yang sama, sehingga kurang matang merancang poros koalisi.
"Golkar itu punya banyak tokoh dengan preferensi politik yang berbeda-beda. Coba saja lihat Akbar Tanjung dengan Luhut (Binsar Pandjaitan) berbeda,” tutur dia.
“Akbar Tanjung menghendaki Golkar mendukung Anies Baswedan, lalu Luhut cenderung ke Istana. Jadi Airlangga ini terombang-ambing.”
Lebih lanjut, Zaki menuturkan, kegagalan Golkar merancang koalisi mengulang kesalahan yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019. Ketika itu, segala manuver politik Golkar hanya berujung menjadikan partai politik itu sebagai kameo.
"Ini seperti kutukan politik tiap lima tahun untuk Golkar. Jadi partai besar, tapi tidak bisa mengajukan calon. Akhirnya menjadi pelengkap penderita," ucap Zaki.
Hal itu sangat ironis, mengingat Golkar adalah partai politik besar yang pengalamannya panjang dan pernah menguasai parlemen pada masa Orde Baru. Akan tetapi, kerap mandul dalam pertaruhan politik elektoral capres-cawapres.
"Lihat saja dalam beberapa pemilu, Ketua Umum Golkar selalu terlempar di atas lima besar capres yang diinginkan masyarakat,” kata dia.
“Saya kira takdir Golkar pada Pilpres 2024 ini hanya sebagai pelengkap saja.”