Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Sandiaga Uno, menyampaikan, pihaknya siap bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang berpotensi memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. PPP bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD pada pilpres.
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini bahkan merasa terhormat apabila diundang bergabung dalam rezim mendatang. Padahal, merujuk laman pemilu2024.kpu.go.id pada Selasa (27/2), hanya meraup 3.023.993 suara (4,01%).
Anggota Mahkamah Partai DPP PPP, Abdullah Mansur, menyampaikan, belum ada pembahasan resmi di internal partainya tentang langkah politik tersebut. Pangkalnya, sampai sekarang masih fokus mengawal penghitungan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Jika penghitungan suara telah rampung, dipastikan memastikan masalah tersebut bakal dibahas di internal. Namun, ia memastikan PPP memiliki kans untuk bergabung dengan rezim Prabowo.
"Apakah bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran atau tidak dengan catatan kalau ada ajakan atau penawaran. Dalam percaturan politik, sikap apa pun bisa terjadi," katanya kepada Alinea.id.
"PPP baru akan menentukan arah koalisinya kalau semua tahapan pemilu sudah selesai," imbuhnya.
Nihil tokoh sentral
Terpisah, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago, tidak heran apabila partai berlogo Ka'bah ini nantinya menjadi koalisi pemerintah. Tidak adanya pemilik saham mayoritas menjadikan peluang bergabung dengan pemerintahan Prabowo kian terbuka lebar.
"Perubahan sikap politik PPP begitu mudah. Jika ketua umumnya berganti, maka jalan PPP untuk meninggalkan kubu oposisi bakal lebih mudah. Cara PPP bergabung dengan pemerintahan sama dengan Golkar karena memang partai ini tidak ada pemiliknya," tuturnya Arifki kepada Alinea.id.
Arifki melanjutkan, peluang Prabowo bernegosisasi dengan PPP lebih mudah daripada partai-partai lain nonpengusung pada Pilpres 2024. PDIP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai NasDem, misalnya, lantaran ketiadaan figur sentral.
Apalagi, sambungnya, PPP akan melihat lebih banyak kerugian dibandingkan keuntungan yang diperoleh ketika menjadi oposisi lantaran banyak yang harus "dipuaskan". Salah satu pertimbangannya adalah memperkuat posisi pada pemilu berikutnya.
"Ini tidak hanya negosiasi kursi menteri, tetapi juga bargaining politik sebagai orang yang berpengaruh di partai," jelasnya.