Omnibus law dan "keabadian" gerakan mahasiswa
Puluhan mahasiswa meriung di sebuah ruangan di Gedung Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Timur, Rabu (11/3) sore itu. Tak hanya mahasiswa fakultas hukum, kelompok mahasiswa dari beragam program studi juga hadir di ruangan sebesar lapangan voli itu.
Sejumlah perwakilan Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) duduk di antara mereka. Kepada para mahasiswa, utusan SGBN bicara panjang lebar mengenai Omnibus Law Cipta Kerja, rancangan undang-undang yang lagi ngetren di DPR dalam beberapa bulan terakhir.
"Mereka yang datang untuk cek ombak bagaimana sebenarnya respons terhadap Omnibus Law (Cipta Kerja)," ujar Ketua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Gema Fakultas Hukum UKI Ruben Mula Mangatur Pangaribuan saat berbincang dengan Alinea.id di sela-sela diskusi.
Seperti rata-rata kelompok buruh, Ruben mengklaim, banyak mahasiswa di UKI yang siap menentang Omnibus Law Cipta Kerja. Kelompok mahasiswa umumnya meyakini RUU sapu jagat itu hanya memberi karpet merah bagi kalangan investor.
Sikap kelompok mahasiswa itu ternyata tak sejalan dengan kebijakan pihak rektorat. Ruben menyebut pihak rektorat cenderung tak setuju diskusi-diskusi mengenai Omnibus Law Cipta Kerja digelar di lingkungan kampus UKI.
"Kampus tuh kayaknya kurang setuju bila mahasiswa bahas diskusi omnibus law. Sebab, jujur kampus ini (pro pasangan) 01 banget dari pilpres kemarin. Makanya, agak kurang menyambut baik. Bahkan, kelihatannya mulai sinis dengan gerakan ini," tutur dia.
Meski begitu, Ruben mengatakan, ia dan rekan-rekannya telah sepakat untuk turun ke jalan memprotes RUU tersebut. Desain aksi bertajuk "Cawang Memanggil" pun kini terus dimatangkan. "Pasti kami bakal turun," imbuh dia.
Aktivisme mahasiswa UKI mulai menggeliat pascaaksi Reformasi Dikorupsi pada September 2019. Ketika itu, gelombang aksi unjuk rasa digelar di berbagai daerah untuk memprotes rencana pemerintah dan DPR mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sejumlah RUU bermasalah lainnya.
Akibat gelombang protes itu, revisi KUHP ditunda disahkan. Meski begitu, tuntutan mahasiswa agar revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibatalkan tak digubris pemerintah. Hingga kini, Presiden Joko Widodo pun menolak mengeluarkan Perppu.
Terpengaruh aksi Reformasi Dikorupsi, Ruben menuturkan, disuksi mengenai isu-isu politik dan sosial terkini mulai menjamur di kalangan mahasiswa UKI. "Nah, mahasiswa juga jadi makin kritis sama kampus," kata dia.
Selain di UKI, geliat penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja juga terlihat di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta. Menurut mantan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPN Dzuhrian Ananda Putra, mahasiswa UPN kini rajin membedah pasal-pasal bermasalah di beleid itu.
"Melalui diskusi dan kajian-kajian yang dilakukan bersama koalisi masyarakat sipil. Itu sudah menjadi perbincangan kami. Omnibus Law Cipta Kerja ini bakal berpengaruh terhadap kehidupan kami juga ke depan," kata Dzuhrian kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Selain persoalan-persoalan perburuhan yang ada di beleid itu, Dzuhrian mengatakan, pasal-pasal yang mengatur soal agraria dan lingkungan juga jadi pembahasan mereka. Menurut dia, aktivis mahasiswa di UPN umumnya setuju aspek lingkungan dikesampingkan dalam RUU sapu jagat itu.
"Misalnya, pertambangan akan semakin mudah didapat perizinannya. Kami juga bisa melihat bagaimana amdal (analisis dampak lingkungan) telah dikesampingkan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini," ujarnya.
Seperti kalangan mahasiswa di UKI, Dzuhrian mengungkapkan, mahasiswa UPN juga sudah punya rencana untuk turun ke jalan memprotes Omnibus Law Cipta Kerja. "Kami akan melakukan parlemen jalanan. Kita enggak mau kecolongan seperti RUU KPK yang kemarin," imbuhnya.
Respons negatif pemerintah
Untuk urusan memprotes Omnibus Law Cipta Kerja, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sepertinya selangkah lebih maju. Kepada Alinea.id, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Jakarta Sultan Rivandi mengungkapkan pihaknya bahkan telah merilis naskah akademik penolakan RUU tersebut.
Naskah akademik itu, menurut Sultan, merupakan buah pertemuan-pertemuan gagasan antara mahasiswa dengan koalisi masyarakat sipil. Dalam naskah akademik itu, Dema UIN Jakarta menilai Omnibus Law Cipta Kerja cacat moral dan material.
"Semua bermula saat kami melakukan penguatan gagasan menolak RUU KPK. Lalu, itu berlanjut sampai RUU Omnibus Law yang saat ini kami soroti. Semua itu merupakan rangkaian upaya untuk menjaga aktivisme di Ciputat," ucap Sultan merujuk pada lokasi kampus UIN Jakarta.
Seperti Ruben dan Dzuhrian, Sultan pun mengaku paham betul dengan isi draf Omnibus Law Cipta Kerja yang saat ini sudah ada di tangan DPR. Dengan lancar, ia mengulas pasal-pasal bermasalah dalam RUU sapu jagat itu.
Ia, misalnya, menyebut isi Pasal 88 Omnibus Law Cipta Kerja yang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal itu, disebutkan bahwa 'perjanjian kerja bisa berakhir saat adanya keadaan dan kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja.'
"Diksi ambigu yang digunakan seperti 'keadaan atau kejadian tertentu' itu tentu saja akan (memunculkan) banyak tafsiran. Itu nanti dapat digunakan (perusahaan) untuk memecat karyawan mereka," ujar Sultan.
Berkaca pada lolosnya revisi UU KPK, Sultan mengungkapkan, protes mahasiswa tidak akan mudah. Apalagi, pemerintah terkesan tak akan mengakomodasi aksi unjuk rasa besar-besaran menolak Omnibus Law Cipta Kerja.
Sebagai gambaran, Sultan mencontohkan penggiringan opini yang ia duga dilakukan Kementerian Koordinator Perekonomian dalam kegiatan seminar bertajuk "Ciputat Menggugat" di kampus UIN Jakarta, awal Maret lalu. Seminar itu, kata dia, dihelat untuk menyisir pasal-pasal ngawur dalam Omnibus Law Cipta Kerja.
#BeritaEkon
— Kemenko Perekonomian RI (@perekonomianri) March 11, 2020
RUU Cipta Kerja Terbuka atas Masukan dan Aspirasi Masyarakathttps://t.co/GEE3B86iwf#UntukEkonomiIndonesia#IndonesiaMaju#RUUCiptaKerja pic.twitter.com/cPxjGV63sO
Dalam unggahan di Twitter, Sultan menilai, Kemenko Perekonomian membingkai seminar tersebut sebagai bagian dari sosialisasi RUU sapu jagat itu. "Itu sangat manipulatif sekali. Padahal, kecenderungan forum mahasiswa UIN Jakarta itu menolak," ungkap Sultan.
Meski bakal sulit, Sultan mengaku mahasiswa UIN Jakarta bakal menggelar aksi protes lanjutan menolak RUU tersebut. "Bila sudah kondusif, kami pasti akan melakukan aksi lanjutan. Jangan sampai UU ini seperti RUU KPK kemarin," kata dia.
Pemerintah memang terkesan bakal mengerdilkan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Januari lalu, misalnya, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut para penolak Omnibus Law Cipta Kerja tidak paham dengan substansi RUU tersebut.
Pernyataan serupa juga diutarakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly saat menanggapi aksi Gejayan Memanggil jilid II yang digelar mahasiswa dan masyarakat sipil di Yogyakarta pada 9 Maret lalu. Dalam aksi itu, demonstran menuntut Omnibus Law Cipta Kerja dibatalkan.
Yasonna menyebut aksi tersebut tidak jelas tuntutannya. Ia mengklaim tidak ada yang salah dalam rancangan RUU yang diprotes "warga" Gejayan itu. "Baca aja isinya. Enggak ada masalah," kata politikus PDI-Perjuangan tersebut.
Aktivisme mahasiswa perlu dirawat
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengamini kemesraan masyarakat sipil dan mahasiswa saat ini. Menurut dia, kalangan LSM dan mahasiswa kerap satu suara dalam memperjuangkan isu-isu yang berkembang di masyarakat.
"Aktivisme itu mulai ramai sejak (gelombang protes terhadap) UU KPK. Sejak September, mereka (kelompok mahasiswa) mulai berkomunikasi," ucapnya kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (16/3).
Isnur mengaku sering diminta kampus untuk mendiskusikan pasal-pasal bermasalah di Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam forum-forum diskusi itu, menurut Isnur, ia mendapati banyak akademikus yang juga menolak RUU Omnibus Law. Namun, mereka tak mau terbuka.
"Secara fakta, orang itu enggak bisa berbohong Omnibus Law (Cipta Kerja) itu disusun secara tertutup. Kita enggak tahu penyusunnya siapa. Itu kan enggak bisa berbohong," terang Isnur.
Isnur membenarkan bahwa perhatian mahasiswa cukup besar terhadap RUU itu. "Sebab, ini menyangkut masa depan mereka. Bila mereka sudah masuk dalam dunia kerja, tidak ada jaminan keadilan dan kepastian hukum bagi mereka," kata dia.
Mantan aktivis 98 Petrus Hariyanto menilai sudah sepatutnya mahasiswa memprotes Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut dia, tak ada kekuatan lain selain gerakan mahasiswa yang mampu mengimbangi kekuatan partai politik di DPR yang ingin meloloskan pasal-pasal bermasalah di RUU tersebut.
Jika dirawat dengan baik, Petrus meyakini, aktivisme politik mahasiswa bakal mendapat simpati publik dan menjadi pemantik gerakan yang jauh lebih besar. "Pasalnya, elemen pro-Jokowi juga banyak yang tidak sepakat dengan RUU tersebut," kata dia.
Petrus pun menyarankan agar mahasiswa terus menjaga hubungan baik dengan masyarakat sipil. Menurut dia, kolaborasi yang kuat antara mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil adalah kunci untuk mendapat simpati publik.
Berbeda, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menyarankan agar mahasiswa tak buru-buru menolak isi Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut dia, pangkal persoalan RUU itu terletak pada belum terakomodasinya semua kepentingan.
"Jadi, sebenarnya ada banyak kepentingan yang mesti diakomodir dalam UU ini, baik itu investor, pemerintah, maupun buruh. Tapi, belum ketemu titiknya sehingga ini menjadi perdebatan," jelas Adriana.
Ketimbang menghabiskan tenaga untuk turun ke jalan, Adriana menyarankan agar mahasiswa membuat kajian mendalam sebagai masukan kepada pemerintah untuk menambal celah yang ada dalam draf RUU tersebut. "Bila sudah menemukan formulasinya, serahkan ke DPR," imbuhnya.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos juga menyarankan agar mahasiswa tak sembarangan menggelar aksi. Tapi, alasannya berbeda dengan Adriana. "Bencana kemanusiaan akibat pandemis virus Corona masih berisiko," kata dia.