close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bawaslu Jawa Barat meluncurkan sistem pengawasan Pilkada 2020 di Jawa Barat yang dapat diakses masyarakat./Antara Foto
icon caption
Bawaslu Jawa Barat meluncurkan sistem pengawasan Pilkada 2020 di Jawa Barat yang dapat diakses masyarakat./Antara Foto
Politik
Jumat, 22 November 2019 13:56

Mudarat pilkada tidak langsung, bakal jadi bancakan parpol

Akan terjadi ledakan civil society apabila pilkada dilakukan secara tidak langsung.
swipe

Ongkos pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang besar, memunculkan usulan untuk pilkada dilakukan secara tidak langsung. Usulan tersebut mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, termasuk dari politikus. 

Merespons usulan pilkada dilakukan tidak langsung, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, saat membuka rapat pimpinan nasional (rapimnas) di Hotel Ritz Carlton beberapa waktu lalu mengatakan partainya membebaskan biaya dalam Pilkada 2020. 

Namun, apa yang diungkap Airlangga sebenarnya retorika elite politik. Pada kenyataanya, mahar politik di tingkat daerah tetap saja diperlukan. 

Belum lama ini, seorang wakil bupati di sebuah daerah di Flores, NTT berbincang kepada Alinea.id. Ia bercerita tentang kegalauannya untuk maju sebagai bupati pada Pilkada 2020. 

Diakuinya, meski sebagian besar keluarga dan kolega politiknya mendukungnya, namun karena terbentur modal, ia memutuskan untuk kembali bersanding dengan calon bupati petahana.

"Jujur soal biaya kita kalah, maka saya putuskan untuk tetap jadi calon wakil bupati," katanya.

Wacana evaluasi pilkada langsung dilontarkan pertama kali oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Evaluasi pilkada langsung muncul berdasarkan rekomendasi dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap sistem pilkada langsung yang sudah berjalan selama 15 tahun./Antara Foto

Mengingatkan kembali, wacana evaluasi pilkada langsung dilontarkan pertama kali oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Ia menegaskan perlunya evaluasi pilkada langsung.

Sebab, sistem yang berjalan selama ini lebih banyak dampak negatifnya. Mudarat dari pilkada langsung antara lain: rentan konflik, tingginya korupsi yang dilakukan kepala daerah dan sebagainya.

Evaluasi pilkada langsung muncul berdasarkan rekomendasi dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap sistem pilkada langsung yang sudah berjalan selama 15 tahun. 

Ongkos pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang besar, memunculkan usulan untuk pilkada dilakukan secara tidak langsung. Usulan tersebut mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, termasuk dari politikus. 

Merespons usulan pilkada dilakukan tidak langsung, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, saat membuka rapat pimpinan nasional (rapimnas) di Hotel Ritz Carlton beberapa waktu lalu mengatakan partainya membebaskan biaya dalam Pilkada 2020. 

Namun, apa yang diungkap Airlangga sebenarnya retorika elite politik. Pada kenyataanya, mahar politik di tingkat daerah tetap saja diperlukan. 

Belum lama ini, seorang wakil bupati di sebuah daerah di Flores, NTT berbincang kepada Alinea.id. Ia bercerita tentang kegalauannya untuk maju sebagai bupati pada Pilkada 2020. 

Diakuinya, meski sebagian besar keluarga dan kolega politiknya mendukungnya, namun karena terbentur modal, ia memutuskan untuk kembali bersanding dengan calon bupati petahana.

"Jujur soal biaya kita kalah, maka saya putuskan untuk tetap jadi calon wakil bupati," katanya.

Wacana evaluasi pilkada langsung dilontarkan pertama kali oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Evaluasi pilkada langsung muncul berdasarkan rekomendasi dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap sistem pilkada langsung yang sudah berjalan selama 15 tahun./Antara Foto

Mengingatkan kembali, wacana evaluasi pilkada langsung dilontarkan pertama kali oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Ia menegaskan perlunya evaluasi pilkada langsung.

Sebab, sistem yang berjalan selama ini lebih banyak dampak negatifnya. Mudarat dari pilkada langsung antara lain: rentan konflik, tingginya korupsi yang dilakukan kepala daerah dan sebagainya.

Evaluasi pilkada langsung muncul berdasarkan rekomendasi dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap sistem pilkada langsung yang sudah berjalan selama 15 tahun. 

Pakar filsafat politik dari Unika Widya Mandira Kupang, Norbertus Jegalus kepada Alinea.id setuju perlu evaluasi dalam pilkada langsung. Meski akan berbenturan dengan penolakan dari masyarakat yang khawatir akan terjadi penyuapan dalam proses tersebut. 

"Saya yakin sekali akan ada ledakan civil society kalau pilkada kembali kepada DPRD. Memang akan muncul argumentasi dari parpol bahwa sistem langsung dan tidak langsung itu demokratis. Tetapi bagi rakyat, melalui pilkada langsung merasakan haknya sungguh dihargai," kata Norbertus.

Soal ongkos yang besar dalam pilkada langsung, Norbertus juga menilai hal tersebut juga terjadi di DPRD. Jadi, bukan berati pemilihan pilkada bukan tanpa biaya. 

Toh, sampai saat ini belum ada penelitian dan hitung-hitungan yang menyatakan pilkada tidak langsung akan lebih murah. Sebaliknya, pemilihan melalui DPRD menjadi lahan bancakan partai politik untuk mendapat keuntungan dari calon yang mendaftar.

"Sebelum partai-partai ini sungguh-sungguh demokratis, mereka ini fungsinya seperti PT (Perseoran terbatas). Bila pilkada lewat DPRD, tentu menjadi kesempatan bagi mereka untuk meraih apa saja yang mereka butuhkan dari para calonnya," ujar pria yang mendirikan sekolah demokrasi di NTT ini.

Kesimpulannya, pemilihan melalui DPRD juga tetap membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setelah lolos mendapat pintu dari partai politik, calon tersebut juga pasti mengeluarkan biaya untuk anggota DPRD yang akan memilihnya.

"Dari pengamatan dan kenyataan yang sudah terjadi, itu tidak otomatis. Partai dibayar, kemudian orang-orang di DPRD juga pasti dibayar," ujarnya.

Pengalaman sejumlah para kepala daerah yang mengatakan tanpa mahar saat maju dalam pilkada, atau menyebut biayanya kecil disebut Norbertus hanya retorika politik. Sebab, mereka tidak akan menjawabnya secara jujur. 

Padahal mereka telah mengeluarkan biaya untuk pendaftaran, kampanye, sosialiasi dan termasuk membayar saksi di tempat pemungutan suara (TPS).

"Sangat tidak masuk akal seorang calon gubernur hanya mengeluarkan Rp1 miliar saja. Atau calon bupati hanya Rp500 juta. Jadi memang kita harus akui ada biaya yang sangat besar. Saya tidak tahu hasil penelitian LIPI itu mengevaluasi bagaimana, yang jelas kita akui biaya besar," kata dia.
 

Direktur Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menambahkan, usulan pilkada tidak langsung perlu juga direspons positif. Tapi untuk menguatkannya, ada baiknya disokong dengan sejumlah riset, focus group discussion (FGD), indepth interview yang melibatkan para pakar dan peneliti.

Sehingga hasilnya dapat diketahui faktor apa saja yang menyebabkan tingginya biaya politik, pelanggaran yang terjadi dalam setiap tahapan pemilu. 

"Dari hasil evaluasi tersebut dapat diketahui kelemahan sistem pemilihan langsung. Kemudian, tentunya bisa segera dicarikan pemecahan permasalahannya," kata Karyono kepada Alinea.id

Usulan Karyono ada dua aspek yang perlu dievaluasi aspek yuridis dan teknis. Nah, untuk mendapatkan hasil evaluasi yang terukur perlu ada studi perbandingan untuk melihat kelebihan ataupun kekurangan antara sistem pemilihan langsung oleh rakyat dengan sistem pemilihan melalui DPRD.

Pemilihan melalui DPRD juga tetap membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setelah lolos mendapat pintu dari partai politik, calon tersebut juga pasti mengeluarkan biaya untuk anggota DPRD yang akan memilihnya./Antara Foto

Ada beberapa variabel yang bisa digunakan untuk mengukur kelebihan dan kekurangan kedua sistem tersebut. Misalnya, dengan memasukkan sejumlah variabel untuk mengukur, seberapa besar pengaruh kedua sistem pemilihan dari aspek keamanan, stabilitas politik, ekonomi, perubahan sosial, budaya (perilaku pemilih), politik uang, dan seberapa besar kedua sistem pemilihan bepengaruh terhadap tingkat korupsi. 

Dia menegaskan, evaluasi menyeluruh harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum memutuskan apakah akan tetap menerapkan sistem pemilihan langsung atau melalui DPRD. 

"Jangan sampai, evaluasi hanya dijadikan alasan pengubahan sistem, tanpa melalui pertimbangan yang matang" kata Karyono.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan