Oposisi dan peran penyeimbang penguasa
Pascapenetapan presiden dan wakil presiden pada 29 Juni 2019, istilah oposisi kembali mengemuka. Secara sederhana, oposisi berarti pihak yang berada di luar lingkaran kekuasaan. Istilah tersebut saat ini melekat di partai politik pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Firman Noor di dalam tulisannya “Oposisi dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia” yang terbit di Jurnal Masyarakat Indonesia Volume 42 Nomor 1 tahun 2016 menulis, oposisi sesungguhnya bukan sekadar sikap asal berbeda atau melawan kebijakan pemerintah, tetapi upaya mengontrol tegas sekaligus memberi alternatif kebijakan.
Sementara itu, di dalam bukunya Pelembagaan Oposisi di Parlemen: Studi Kasus PDIP sebagai Peletak Dasar Partai Oposisi di Indonesia (2017) Tuswoyo menulis, kebebasan berpolitik dengan mengkritik dan mengontrol jalannya pemerintahan menjadi peran vital partai-partai politik yang tak tergabung di dalam koalisi.
Oposisi dari masa ke masa
Oposisi sudah terlihat setelah negara ini menggelar pesta demokrasi kali pertama. Usai Pemilu 1955, tak ada partai yang mendapatkan kursi mayoritas di parlemen. Saat itu, pemerintahan dibentuk dari koalisi empat partai yang memperoleh suara terbanyak, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di parlemen, Masyumi memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah. Pemerintahan saat itu sangat lemah, dan kerap gonta-ganti kabinet.
Menurut Firman Noor, saat masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), oposisi dibenamkan. Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Sukarno, dibubarkan.
“Dalam upaya membangun rezim itu, Sukarno mengedepankan ide-ide antidemokrasi, seperti kuburkan partai-partai atau ide bahwa demokrasi tidak cocok dengan karakter bangsa. Dapat dikatakan pada masa inilah akar-akar oposisi dicabut paksa oleh negara,” tulis Firman.
Di masa Orde Baru, tulis Firman, rezim mengubur demokrasi dengan menyingkirkan oposisi hingga akar potensinya. Pascareformasi, Firman menulis, ada pergeseran kecenderungan. Meski masih dipandang sebelah mata, tetapi penafsiran oposisi sudah berubah drastis.
Tak lagi dikucilkan, tetapi oposisi masih dianggap bukan pilihan menguntungkan karena terbangunnya pemerintahan, yang Firman sebut, berkecenderungan kartel. Sehingga, oposisi terserap dalam pemerintahan dan menggarongnya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pun pernah menjadi oposisi selama 10 tahun pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyoho atau SBY, pada 2004-2014.
Pada 2004, menurut Derek Manangka dalam buku Jurus dan Manuver Taufiq Kiemas: Memang Lidah tak Bertulang (2009), Taufiq Kiemas membuat penegasan kalau PDI-P di DPR maupun di luar parlemen memposisikan diri sebagai oposisi.
Di dalam buku Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi (2014) karya Syamsuddin Haris disebutkan, pasca-Pemilu 2009 dan menjelang Kongres PDI-P di Bali pada 2010, sikap Taufiq Kiemas—yang menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua Dewan Pertimbangan PDI-P sekaligus suami Megawati Soekarnoputri—berubah. Ia menginginkan bergabung dengan koalisi pemerintah SBY.
“Meski keinginan ini ditolak Mega, tetapi Kongres PDI-P di Bali tak lagi menggunakan istilah oposisi, melainkan ‘pengontrol’ dan ‘penyeimbang’, kendati esensinya sama,” tulis Syamsuddin.
Menurut pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin, selama pemerintahan SBY, PDI-P sebagai oposisi mempersiapkan kadernya sembari menunggu momentum memenangkan kontestasi pemilu.
Artinya, kata dia, oposisi yang menderita di bawah tekanan rezim memperkuat daya tahan kader PDI-P. Menurut Ujang, peran oposisi “melawan” kebijakan pemerintah, meski tak memiliki akses kekuasaan, menyebabkan kader PDI-P menjadi semakin militan.
"Ketika 10 tahun berlalu, pada 2014 PDI-P muncul sebagai pemenang. PDI-P termasuk partai yang sukses memerankan oposisi," ujar Ujang saat ditemui Alinea.id di Media Center Nusantara III MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (5/7).
Oposisi posisi mulia
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengajak koalisi Indonesia Adil Makmur—yang sesungguhnya sudah dibubarkan pada 28 Juni 2019—dan rakyat Indonesia menjadi oposisi kritis dan konstruktif.
Mardani menganggap, posisi oposisi merupakan sikap yang mulia dalam melaksanakan fungsi pengawas dan pengawal, agar pemerintahan berjalan sesuai koridor dan tak sewenang-wenang.
“Yang baik didukung, yang kurang baik kita kritisi, yang buruk kita tolak,” kata Mardani saat dihubungi, Jumat (5/7).
Tanpa oposisi, kata Mardani, sama saja dengan sikap pembiaran, yang bisa mengakibatkan segalanya lepas dari sekrup kontrol. Ia mengatakan, rakyat akan dirugikan bila tak ada oposisi.
“Kalau semua partai memperoleh jatah kursi, namanya jadi akuisisi dan akan melahirkan kembali Orde Baru,” tuturnya.
Mardani tak peduli satu atau dua partai yang akan menjadi oposisi. Baginya, yang terpenting cerdas dan kritis agar proses demokrasi bisa berjalan efektif. Sinyal kontra dari oposisi, menurut Mardani, diharapkan bisa merangsang pemerintah mengkaji ulang kebijakannya.
"PKS tidak berpikir untung rugi, tapi etika, " ucapnya.
Ia menegaskan, dalam demokrasi, sudah semestinya kubu 01 sebagai pemenang menjadi penguasa, sedangkan kubu 02 harus jadi penyeimbang kekuasan. Bukannya berbalik arah merasa menang dan ingin berkuasa.
"Itu akan membuat sehat demokrasi, tidak akan terlihat lagi politik loncat pagar," ujar Mardani.
Di sisi lain, Ujang Komarudin mengapresiasi sikap PKS dan Gerindra yang menjadi oposisi. Ujang mengatakan, posisi oposisi tak ada ruginya. Terbukti, kata dia, sebagai oposisi perolehan kursi keduanya cenderung meningkat, meski tak signifikan.
Akan tetapi, Ujang menilai, PAN dan Demokrat dirugikan bila menjadi oposisi lantaran memiliki target politik pada 2024.
"AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) diorbitkan untuk 2024, makanya butuh kekuasaan guna menjembatani popularitas. AHY harus punya track rekord seperti Jokowi pernah jadi gubernur atau SBY pernah jadi Menkopolhukam. Ia butuh pos strategis, agar orang bisa menimbang kemampuannya," tutur Ujang.
Sementara Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menghargai partai-partai yang memposisikan dirinya sebagai oposisi. Sayangnya, kata dia, aturan main beroposisi belum terinci dengan jelas.
"Apa bedanya PAN sebagai oposisi dengan PKB? Belum tentu ada bedanya. Apalagi saat pilkada, PKS dan PAN kita bisa gabung. Toh, kepentingannya sama," tutur Abdul saat ditemui di Media Center Gedung Nusantara III DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (5/7).
Menurut Karding, harus ada aturan turunan yang mengatur ruang permainan oposisi dan posisi pemerintah. Terkait susunan koalisi, Abdul menganggapnya sebagai hak preogratif Presiden Jokowi. Sehingga, ajakan oposisi bergabung, harusnya direspons terang-terangan.
"Artinya jangan meminta terlalu banyak. Itu memang risiko bertanding. Tapi, jangan sampai di tengah jalan justru mengkritik terus, bukan koalisi namanya," ujar Karding.
Menimbang oposisi
Dihubungi terpisah, Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik (PSDPP) Dedi Kurnia Syah Putra menilai, kinerja oposisi pascareformasi cukup baik, terutama sejak 2014. Sejauh ini, Dedi percaya bahwa posisi oposisi penting untuk menyeimbangkan pemerintahan.
Menurut Dedi, bila oposisi ditiadakan atau diupayakan meniadakannya, maka yang terjadi adalah ketidakstabilan dan ketimpangan karena distribusi kekuasaan terlampau didominasi petahana.
“Imbasnya, produk kebijakan jadi sangat tidak berkualitas lantaran basisnya bukan pada pertimbangan kontrol. Ini tidak baik bagi demokrasi di negara kita,” ujar Dedi saat dihubungi, Kamis (4/7).
Namun, Dedi memandang, oposisi yang terlampau kuat juga tak baik pula karena bisa menghambat laju pembangunan yang dicanangkan pemerintah.
Dedi pun memprediksi peta kekuatan partai politik yang kemungkinan besar akan menjadi oposisi pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin mendatang. Dedi mengatakan, Demokrat tak baik jadi oposisi karena menempatkan dirinya dalam posisi kohabitasi—keadaan bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu tanpa membentuk koalisi.
Artinya, kata dia, entah menjadi oposisi atau bergabung dengan koalisi, Demokrat tak mau terikat secara formal. Sementara PAN, tentu sedang berpikir ulang guna mempertimbangkan arah politiknya ke depannya. Sebab, menurut Dedi, hasil dari pemilu bisa dibilang tak terlalu dominan, tetapi tak terlalu kecil.
“Ini menjadi dilema bagi PAN, apakah dia akan tetap bersama Pak Prabowo dengan kondisi yang minim, ataukah bersama Pak Jokowi dengan suara minim yang belum tentu juga diterima oleh partai-partai koalisinya,” tutur Dedi.
Meski begitu, dalam pandangan Dedi, menjadi oposisi punya keuntungan tersendiri bagi PAN, Demokrat, Gerindra, dan PKS. Dedi melihat, PAN dan Demokrat secara politis akan dianggap konsisten dan dipandang lebih terhormat ketimbang menyeberang ke kubu Jokowi-Ma’ruf.
Hal itu, kata Dedi, juga bisa melambungkan citra dan repurasinya sebagai partai pendukung kubu Prabowo-Sandi. Sebaliknya, kalau PAN dan Demokrat “lompat pagar”, sangat mungkin kepercayaan publik akan tergerus dan perjalanan pemilu selanjutnya kian berat.
“PAN akan diuntungkan dengan mengambil alih suara PPP dan PKB, jika selama lima tahun masyarakat kecewa terhadap performa kubu petahana yang mengendur,” tutur Dedi.
Untuk PKS, Dedi melihat, menjadi oposisi emmang pilihan yang tepat. Dedi pun memuji kaderisasi dan solidaritas PKS yang semakin membaik.
“Sementara Gerindra, dengan Prabowo Subianto sebagai ikon berpengaruh, tentu lebih bagus oposisi,” katanya.