Jagat media sosial dikejutkan dengan kabar kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Parameter yang digunakan dalam pesan berantai di medsos di antaranya ialah adanya penyerangan terhadap ulama layaknya yang terjadi pada 1965 silam. Pelaku yang melakukan penyerangan ialah orang gila dan dianggap memiliki daftar lengkap ulama yang akan dijadikan sasaran.
Ironisnya, orang gila di sejumlah daerah pun dirazia. Seperti yang terjadi di Jawa Timur (Jatim). Bahkan, Polda Jatim menggandeng Dinas Sosial untuk menangkap orang dengan gangguang jiwa yang berkeliaran di jalanan pascakejadian di Lamongan dan Tuban beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, korps Bhayangkara di Jatim juga menggandeng TNI untuk memberikan pengamanan terhadap simbol agama maupun tokoh tokoh agama.
"Kami bersama-sama melakukan razia terhadap orang-orang gila di jalan. Dan mengawal semua pesantren dalam rangka pengamanan," ujar Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Frans Barung Mangera seperti dikutip dari Antara, Kamis (22/2).
Meski merazia, Polda Jatim mendeteksi ada yang sengaja mengusik ketentraman Jatim dan bermain di balik isu orang gila. Peringatan senada diungkapkan Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono. Jenderal Polri bintang tiga itu memastikan sudah mengantongi sejumlah akun medsos yang menggoreng isu kekerasan terhadap pemuka agama, termasuk mengaitkannya dengan kebangkitan PKI. Bahkan, Ari juga telah memetakan cara para pelaku yang sistematis dan terstruktur.
Menurutnya, para pelaku bertujuan untuk membuat seolah-olah kondisi keamanan negara sedang genting. Ia pun mengultimatum para pelaku penyebar isu hoaks tersebut untuk berhenti. "Jadi siap-siap saja jika masih terus menyebarkan hoaks seperti itu," terang Ari.
Ilustrasi/Shutterstock
Upaya penciptaan ketakutan
Mengaitkan isu orang gila dengan kebangkitan PKI adalah sesuatu yang berlebihan. Guru besar ilmu sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman memaparkan, sebagai ideologi, kelompok, sekaligus kekuatan politik, kemunculan kembali PKI tak bisa diidentifikasi sekaligus dibuktikan.
“Partainya tidak ada. Kalau dulu soal tanah, kalau ini jargon politiknya tidak diidentifikasi. Sehingga, ini terlalu berlebihan,” jelas Sunyoto saat berbincang dengan Alinea.
Sedangkan diagnosa terhadap orang gila bukanlah hal yang sulit. Sunyoto menyayangkan belum adanya penjelasan medis bahwa pelaku yang dianggap menyerang ulama merupakan orang yang betul-betul gila. Akibatnya, produksi stigma orang gila adalah PKI melalui media sosial semakin menyuburkan ketakutan masyarakat.
“Sekarang tidak jelas, orang gila sama dengan PKI, ini perlu klarifikasi yang jelas supaya tidak bertambah bingung,” paparnya.
Poin kedua yang perlu diperhatikan terkait isu penyerangan orang gila, kata dia, adalah perlunya introspeksi dari negara. Sebagai warga negara, Sunyoto menyebut orang yang terganggu secara kejiwaan juga memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh negara. Seperti perlakuan terhadap penyalahguna narkoba yang direhabilitasi, penderita gangguan jiwa harus dirawat di rumah sakit jiwa (RSJ) dan diobati.
“Itu jadi kegaduhan. Keluarganya apabila tidak terima bisa menjadi konflik horizontal,” tandasnya.