Pada siapa pinangan Prabowo dijatuhkan?
Setelah Prabowo Subianto melakukan manuver politiknya dengan mengunjungi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa waktu lalu, nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memang sempat muncul sebagai calon wakil presiden (cawapres) idaman Prabowo. Usai pertemuan tersebut, Prabowo sendiri menyatakan dirinya membutuhkan kriteria orang yang mampu berkomunikasi dengan baik pada generasi muda.
“Kalau umpama nama AHY muncul, ya why not?” ujar Prabowo pada Selasa (24/7) malam itu.
Dari pertemuan tersebut, banyak yang berspekulasi SBY adalah king maker dalam Pilpres kali ini. Namun, pengamat politik Universitas Al-Azhar Zaenal A. Budiyono berpendapat lain. Zaenal menganggap SBY tak lebih sebagai orang yang dituakan.
“SBY itu kan di antara orang-orang yang paling tua, jadi saya lihat mereka masih menghargai senioritas itu. SBY juga kan mantan presiden. Prabowo pun tidak pernah tidak datang, jika ada janji dengan SBY,” kata Zaenal.
Selain faktor senioritas, faktor lainnya karena Demokrat dilihat sangat sulit untuk mendukung sesuatu. “Kita ingat 2014 dia mengambil posisi netral, jadi memang suaranya sekarang terkesan dibutuhkan,” jelasnya lagi.
Sementara itu, koalisi setia Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah memunculkan sembilan nama calon presiden dan wakil presiden dari kader-kader partainya. Setelah pertemuan Prabowo-SBY itu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Hakim, sempat mengatakan partainya masih menunggu keputusan majelis Dewan Syuro untuk menentukan sikap.
Kini, setelah Dewan Syuro rampung menggelar pertemuan, Prabowo tetap diam saat ditanya ikhwal cawapres yang akan ia pinang. Sementara, PKS sendiri lewat pernyataan politisi Gerindra Taufik dan Sandiaga Uno, cenderung menyerahkan putusan pada koalisi. Apalagi, mereka menegaskan partai yang digawangi Sohibul Iman ini tak akan lompat pagar, kendati calonnya tak dipilih Prabowo.
Menurut analisis Zaenal, PKS telah melewati debat panjang di Dewan Syuro. Rapat internal mereka saja digelar hingga sembilan jam lamanya. Hal itu terjadi lantaran PKS memiliki pola yang berbeda dibanding partai lainnya. Saat partai-partai lain cenderung menyerahkan putusan pada elit, PKS justru lebih demokratis karena semua bisa menonjolkan ideologi pribadi. “PKS sudah relatif bergantung pada ideologi, karena setiap kali ada pertemuan, pasti dibahas di Dewan Syuro,” terangnya.
Namun, jika melihat partai lain, lanjut Zaenal, dewan seperti itu tetap ada. “Namun sekadar presentasi, jadi masih tergantung SBY, tergantung Mega, tergantung Prabowo. Di PKS tidak ada tokoh yang sangat kuat, makanya itu (dialektika partai) akan lama,” imbuh Zaenal.
Sembari menunggu Dewan Syuro membocorkan hasil pertemuannya yang digelar Selasa (7/8) malam, dari pengakuan Hakim, PKS sebetulnya ingin mendorong kadernya agar dipinang Prabowo. Apalagi, dilihat dari rekam jejak, PKS sejak pemilu 2014 setia berkoalisi dengan Gerindra, sehingga mereka bisa menyampaikan konsensus partai langsung pada eks suami Titiek Soeharto itu.
Ini senada dengan pernyataan Presiden Dewan Pimpinan Pusat PKS Sohibul Iman usai rapat Dewan Syuro selesai. "Kami mengapresiasi menyetujui dan mengawal hasil rekomendasi itjima ulama GNPF MUI yang telah menetapkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden republik Indonesia untuk tahun 2019-2024, dan Insha Allah DPTP akan memperjuangakan hal itu," paparnya di DPP PKS, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (7/8) malam.
Dia mengaku masih memperjuangakan sembilan nama cawapres yang diusulkan PKS sebelumnya. Hal itu dilakukan apabila nama Salim Segaf Al Jufri dan Abdul Somad tak dipilih oleh Prabowo Subianto.
"Sembilan nama itu tidak bersifat mutlak. Andaikan dua nama itu tak dipilih oleh Pak Prabowo, sembilan nama itu hidup lagi, tapi ini kan sudah mengerucut ke dua nama kalau tidak dipilih ya jadi buyar," kata dia.
Terkait adanya nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang juga digadang-gadang menjadi calon kuat pendamping Prabowo, Sohibul katakan tak ingin berandai-andai dan tetap fokus kepada dua nama yang dianjurkan oleh Majelis Syuro dan itjima ulama GNPF.
"Jadi kita tak mau berandai-andai. Fokus perjuangan kita adalah keputusan majelis syuro dan hasil itjima ulama. Kita berpeluang di situ, apabila nanti ada kemungkinan begitu (AHY yang dipilih) biar DPTP yang memutuskan," tuturnya.
Terkait adanya isu akan berpindah dari barisan Prabowo, politisi PKS Aboe Bakar Alhabsy, menyatakan hal itu tak akan terjadi. Sebab, menurutnya hal itu bertentangan dengan hasil dari rapat istimewa Majelis Syuro yang ingin tetep membawa aspirasi masyarakat untuk mengganti presiden.
"Tidak, kita tidak mungkin ke Jokowi, itu kan sudah menjadi keputusan rapat istimewa mejelis syuro," ujarnya.
Majelis Syuro tak mempermasalahkan, kandidat wapres yang dipilih Prabowo, asal masih masuk dalam sembilan usulan ini. Jika nantinya ada perbedaan pilihan antara PKS dengan Prabowo terkait cawapres, alias rekomendasi PKS tak dipilih Prabowo, Sohibul akan menyerahkan sepenuhnya kepada DPTP untuk menentukan langkah politik selanjutnya.
Merespons ini, pengamat politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing, melihat peluang PKS untuk keluar dari koalisi, andai cawapres mereka tak dipilih Prabowo, sangat kecil. “Kalau mereka mau keluar, tidak sempat lagi mereka akan membuat koalisi baru, karena PKB sudah merapatkan diri ke Joko Widodo, kemudian mau merapat ke mana?” kata Emrus.
Dengan asumsi Gerindra dan Demokrat menyatu, terang Emrus, sementara PAN berada di dua kaki berat bagi PKS untuk hengkang dari koalisi. “Apalagi saat ini ada Undang-Undang Pemilu yang menyatakan harus ada partai yang diusung, saya melihat peluangnya hanya merapat pada Prabowo,” jelasnya.
Bola liar capres dan cawapres penantang Jokowi
Sampai hari ini, baik koalisi kubu Joko Widodo (Jokowi) selaku petahana maupun koalisi penantangnya belum mau menyebutkan nama untuk Pilpres 2019 nanti. Koalisi yang masih saling tunggu-menunggu untuk menentukan sikap, menjadi bola liar dalam perbincangan politik.
Prabowo Subianto belum mengumumkan siapa cawapres pendampingnya./ Antarafoto
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun melihat ada enam pasang capres-cawapres 2019 yang berpotensi mengalahkan Jokowi pada Pemilihan Presiden 2019.
Selain nama Prabowo, muncul nama Anies Baswedan yang diprediksi Ubed akan maju sebagai calon presiden. Dalam analisisnya, Ubed menyebut Anies Baswedan bisa saja berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono atau kader PKS Ahmad Heryawan.
Ubed mengatakan pasangan Anies-Aher bisa terwujud jika Prabowo legowo menjadi guru bangsa, menjadi king maker, dan Anies Baswedan menjadi anggota Partai Gerindra.
“Potensi pasangan ini untuk memenangkan pilpres 2019 sangat tinggi karena keduanya didukung penuh mesin politik yang dikenal gigih dan kreatif. Potensi besar menang juga terlihat dari keduanya memimpin provinsi dengan prestasi dan proses menangnya mengejutkan publik,” kata Ubed yang juga Direktur Pusat Studi Sosial dan Politik Indonesia (Puspol Indonesia).
Sementara jika Anies dipasangkan dengan AHY, pasangan tersebut akan menjadi pasangan bersejarah yang menyatukan dua sosok jenderal di belakang mereka. Pasangan Anies-AHY, kata Ubed, juga pasangan yang menggambarkan anak muda yang berbasis pengalaman di eksekutif yang mumpuni, karena pernah jadi menteri dan gubernur, pengalaman profesional intelektual, representasi kaum muda agamis di satu sisi, dan pengalaman leadership yang kokoh berlatar militer muda yang cerdas dan nasionalis kuat di sisi yang lain.
Emrus Sihombing melihat Prabowo bisa saja memberi kejutan dengan memajukan orang lain di masa injury time ini. “Namun, mendongkrak tokoh baru itu saya pikir sangat sulit, karena orang tidak membincangkan tokoh baru itu,” kata Emrus. Apalagi hingga kini belum ada manuver Anies Baswedan.
Sementara itu, Zaenal A. Budiawan tidak melihat kemungkinan Prabowo akan menyerahkan kursi capres kepada orang lain. “Prabowo juga akan bertaruh kalau sampai dia tidak maju, karena popularitas Gerindra bisa turun,” kata pengamat politik Universitas Al-Azhar tersebut.
Berbeda dengan Ubed, Zaenal melihat Anies Baswedan menurutnya belum memiliki modal yang cukup jika dimajukan sebagai calon presiden. “Anies di Jakarta kita akui sajalah kinerjanya belum cukup terlihat. Kalau dia menyelesaikan lima tahun dengan luar biasa, 2024 dia bisa jadi presiden,” jelasnya.
Dari amatan Zaenal, jika Prabowo berpasangan dengan tokoh muda dalam pilpres ini, hal itu bisa mengancam Prabowo. “Katakanlah kalau Prabowo menang, dia bisa maju lagi pada periode berikutnya. Kalau yang dicalonkan tokoh muda, itu bisa jadi bumerang,” kata Zaenal.
Zaenal mencontohkan, jika AHY mendampingi Prabowo, pada 2024 mendatang AHY akan bersinar. “Itu juga harus dipikirkan Prabowo, apakah Prabowo siap bertarung dengan AHY,” jelasnya.
Namun, Zaenal melihat di antara semua calon, AHY memiliki peluang, sebab elektabilitasnya paling tinggi di antara calon-calon di koalisi Prabowo. “Kalau Prabowo ingin mengalah, hitung-hitungannya harus ada calon yang lebih baik daripada dia,” tukasnya.
Terkait isu soal dipilihnya Abdul Somad, ini bisa jadi pilihan yang tepat agar PKS tetap lengket dengan koalisi Prabowo. Pasalnya, ustaz tersebut didukung penuh oleh para ulama, sehingga majunya ia sebagai pendamping Prabowo bisa menjadi pilihan aman. Masalahnya, elektabilitas Abdul Somad sangat jarang disinggung oleh sejumlah lembaga survei. Selama ini, deretan nama yang muncul justru di luar figur ulama, seperti AHY dan Anies. Ini diyakini bakal menjadi PR besar bagi koalisi Prabowo jika ingin menggandeng Abdul Somad.
Secara keseluruhan, Emrus melihat tarik ulur koalisi politik dan sikap partai-partai yang saling menunggu bisa merugikan masyarakat. “Sebab, masyarakat tak bisa membuat penilaian dan pertimbangan pada pasangan calon secara rasional,” jelas Doktor Komunikasi tersebut.
Massa mengambang
Elektabilitas Jokowi di lembaga-lembaga survei melampaui calon-calon lainnya. Dalam survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA misalnya mengatakan elekatabilitas Jokowi setelah Pilkada serentak naik di angka 49,30%. Sementara elektabilitas lawan-lawan Jokowi cenderung stagnan.
Kendati demikian, elektabilitas Jokowi sebagai petahana belumlah aman. Selain itu ada massa mengambang yang belum menentukan pilihannya. Didi Irawadi Syamsuddin melihat besarnya jumlah massa mengambang tersebut bisa digunakan Prabowo sebagai peluang untuk mengalahkan Jokowi di Pilpres 2019 nanti.
Emrus juga melihat massa mengambang sebagai pemilih rasional. Ia menilai Prabowo bersama koalisinya perlu menyusun program-program yang lebih jelas dan mampu melampaui program Jokowi, selama menjabat untuk meraih suara massa mengambang.
Prabowo, imbuhnya, bisa memanfaatkan kelemahan program-program Jokowi saat ini sebagai strategi pemenangannya. "Kalau poros Prabowo lakukan kajian secara ilmiah kelemahan-kelemahan tersebut, memberi solusi yang terukur, dan menyejahterakan rakyat, saya kira bisa untuk menarik pemilih yang belum mengambil keputusan ini," kata Emrus.