Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai sanksi pemberhentian Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, aneh. Bahkan, Feri menyebut keputusan DKPP tersebut mengganggu marwah KPU.
“Bagi saya, aneh saja, orang yang (menemani temannya) menempuh jalur hukum kemudian dianggap melanggar etik,” ucapnya dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (20/1).
Menurut Feri, tindakan Arief Budiman dapat disebut bentuk kepedulian atasan terhadap bawahannya, bukan pelanggaran hukum. Semestinya, jelas Feri, tindakan menemani Evi Novida Ginting Manik diperbolehkan.
Baginya, tidak ada masalah Arief Budiman mendukung anak buahnya itu untuk menggugat pemberhentian terhadap dirinya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“(Ini hanya) menempuh jalur administrasi, bukan kasus pidana pelecehan seksual, bukan korupsi, bukan penyimpangan jabatan. Jika tindakan ke pengadilan melanggar etika, saya tidak habis pikir,” ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.
Kasus pemberhentian Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik, kata dia, sesungguhnya merupakan persoalan luar biasa dalam penataan penyelenggara pemilu secara konstitusional. Jika dibiarkan, keributan akan terus berlanjut dengan pola dan orang-orang yang berbeda.
“KPU dan Bawaslu seperti Tom and Jerry. Nah, sekarang ada ditambah DKPP, ada Tom (kucing) and Jerry (tikus) dan Bulldog (anjing Spike dalam film Tom and Jerry) yang tugasnya menambah keributan,” tutur aktivis hukum ini.
Sebelumnya, DKPP memberhentikan Arief Budiman dari jabatan Ketua KPU. Hal ini tertuang dalam putusan perkara nomor 123-PKE-DKPP/X/2020.
"Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan Ketua KPU kepada teradu Arief Budiman selaku Ketua KPU RI," bunyi salinan putusan DKPP dikutip Rabu (13/1).
Pemecatan dijatuhkan lantaran Arief telah terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu ketika mendampingi Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik menggugat keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) Jakarta. Pendampingan itu dilakukan Arief pada 17 April 2020.