close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua KPK Agus Rahardjo (ketiga kanan) didampingi para Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (ketiga kiri) dan Laode M Syarif (kedua kanan) serta Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kanan) memberikan keterangan pers di kantor KPK. Antara Foto
icon caption
Ketua KPK Agus Rahardjo (ketiga kanan) didampingi para Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (ketiga kiri) dan Laode M Syarif (kedua kanan) serta Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kanan) memberikan keterangan pers di kantor KPK. Antara Foto
Politik
Senin, 16 September 2019 10:33

Pakar pertanyakan sikap Jokowi tak ajak bicara KPK

Pemberantasan korupsi dinilai akan mundur sekali jika kondisi KPK dilemahkan.
swipe

Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Hibnu Nugroho, mempertanyakan sikap Joko Widodo atau Jokowi yang tak mengajak bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal adanya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Rindak Pidana Korupsi. 

Dalam proses revisi undang-undang tersebut, kata Hibnu, mestinya semua pemangku kepentingan dimintai pendapatnya, termasuk KPK. Terlebih, KPK sebagai pihak yang menjalankan pemberantasan korupsi dan tahu betul akan permasalahan di lapangan.

“Tetapi kenapa tidak diajak bicara serta kecenderungan rumusan dari Presiden dan DPR itu melemahkan semua,” kata Hibnu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (16/9).

Dia menilai, penyerahan mandat atau tanggung jawab pengelolaan lembaga antirasuah yang dilakukan oleh pimpinan KPK kepada Presiden Joko Widodo merupakan sesuatu yang manusiawi. Hibnu menuturkan, penyerahan mandat KPK ke presiden memang secara formal kurang tepat, tapi secara materil itu suatu hal yang bersifat manusiawi. 

“Kenapa saya katakan manusiawi, karena dalam pembentukan peraturan perundangan, idealnya semua pemangku kepentingan diminta pendapatnya,” katanya.

“Dengan kondisi yang kacau seperti sekarang ini, biar Presiden yang menjalankan sendiri. Ini saya melihatnya arahnya ke sana.”

Menurut Hibnu, dengan kondisi yang demikian, upaya pemberantasan korupsi bisa jadi akan mundur sekali karena dengan penyerahan mandat, penegakan hukum ke depan menjadi terhenti. Padahal, di KPK terdapat tersangka, terdakwa dan barang bukti yang harus ada penyelesaian hukum secepatnya.

“Ini dampaknya besar dengan adanya penyerahan ini, tidak hanya penyerahan secara administratif tapi penyerahan hukum, dampaknya luar biasa. Ini yang kami inginkan betul-betul, Dewan dan Presiden mengambil langkah cepat," katanya.

Paling tidak, kata dia, DPR dan Presiden membentuk pelaksana tugas pimpinan KPK jika pimpinan baru lembaga antirasuah tersebut belum dilantik. Sebab, di KPK sifatnya kepemimpinan adalah kolektif kolegial.

Sebaliknya, jika tidak mengangkat pelaksana tugas, Jokowi diminta segera melantik pimpinan baru KPK yang sudah disahkan DPR, sehingga tidak ada kekosongan hukum yang berpotensi menimbulkan gugatan-gugatan hukum pada pihak-pihak yang sedang terlibat suatu masalah. (Ant)

img
Tito Dirhantoro
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan