Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019 sampai 2023 terpilih disebut akan disambut dengan karpet hitam saat kali pertama mengantor di Kuningan, Jakarta Selatan. Hal tersebut diungkapkan oleh Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Hibnu Nugroho.
Hibnu menuturkan penyambutan yang tak rama tersebut imbas dari polemik yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Selain terpilihnya pimpinan KPK yang dianggap bermasalah, juga karena munculnya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Idealnya pimpinan yang baru itu disambut dengan karpet merah, tapi capim yang sekarang itu disambut dengan karpet hitam,” kata Hibnu di di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (16/9).
Menurut dia, pimpinan KPK nantinya harus betul-betul melakukan perubahan atau suatu langkah yang bisa merangkul pegawai lembaga antirasuah itu. Namun demikian, hal tersebut bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena timbulnya gejolak.
“Itu tidak mudah dan butuh waktu karena ibarat mobil, mobilnya mogok, sehingga harus didorong,” ujar Hibnu.
Lebih lanjut, Hibnu mempertanyakan politik hukum pemerintah yang menempatkan posisi KPK, apakah sebagai lembaga biasa atau sebagai lembaga independen. Kalau meletakkannya sebagai lembaga independen, seharusnya KPK tak perlu ada dewan pengawas.
“Konteks dewan pengawas tidak perlu karena akan memperpanjang sistem. Selain itu, dalam ilmu kriminalistik pengungkapan perkara pun, penyadapan itu perlu teknik dan taktik," katanya.
Dengan adanya keharusan meminta izin kepada dewan pengawas dalam melakukan penyadapan, kata Hibnu, akan menyulitkan KPK memberantas kejahatan-kejahatan yang luar biasa, karena berpotensi terjadinya kebocoran informasi, meskipun dewan pengawas itu berasal dari kalangan akademisi maupun pakar.
"Jadi, pertanyaannya begini, bagaimana konsep dewan pengawas itu. Ini yang belum ketemu. Apakah dewan pengawas seperti lembaga-lembaga yang sekarang ini, misalnya dewan pengawas di perguruan tinggi. Itu ekstra semua dan itu menjadikan (birokrasi) kita panjang, tidak ada suatu otonomi penuh," katanya.
Padahal, Hibnu menambahkan, yang namanya KPK perlu ada otonomi dan independensi penuh dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, perlu ada diskusi bersama antara pemerintah, DPR, tokoh-tokoh masyarakat dan KPK untuk membahas yang terbaik bagi lembaga antirasuah itu. (Ant)