close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pegiat media sosial Ade Armando diwawancari wartawan sebelum aksi pengeroyokan di depan gedung DPR, Senayan, Senin (11/4/2022). Foto: Alinea.id/Marselinus Gual.
icon caption
Pegiat media sosial Ade Armando diwawancari wartawan sebelum aksi pengeroyokan di depan gedung DPR, Senayan, Senin (11/4/2022). Foto: Alinea.id/Marselinus Gual.
Politik
Kamis, 14 April 2022 11:07

Pakar soroti kasus Ade Armando dari peran sebagai buzzer politik 

Gerakan mahasiswa hari ini hidup di tengah situasi manipulasi opini publik yang membanjiri media sosial
swipe

Direktur Pusat Studi dan Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, menilai kekerasan yang terjadi pada pegiat media sosial Ade Armando saat aksi unjuk rasa mahasiswa 11 April 2022 lalu tak lepas dari adanya kebencian yang telah terbangun dari ritual elektoral dengan penggunaan politik identitas yang digunakan demi kemenangan elektoral.

Akibatnya, kata dia, perselisihan di tingkat akar rumput menjadi tidak pernah usai, bahkan setelah pemilu selesai dan Prabowo Subianto telah menjadi bagian dari pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

"Siapa yang menjadi agen kebencian, merekalah para buzzer politik. Studi LP3ES, Universitas Amsterdam, UNDIP dan Drone Emprit menyebutkan kedua kubu sama-sama menggunakan cybertroop dengan framing kepada lawan politik melalui politik identitas," kata Wijayanto dalam sebuah diskusi LP3ES bertajuk "Gerakan Mahasiswa dan Masa Depan Demokrasi" pada Rabu (13/4) malam.

Menurut Wijayanto, buzzer politik berperan penting untuk menyulut kebencain dan kekerasan verbal dengan cap-cap kadrun dan cebong. Buzzer juga berperan penting dalam memanipulasi opini publik ketika menstigma Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seolah telah dikuasai Taliban. 

"Ada setengah juta percakapan dalam waktu satu minggu menjelang disahkannya UU KPK baru, yang berisi dukungan kepada revisi UU KPK akibat isu Taliban," jelas dia.

Wijayanto berpendapat, gerakan mahasiswa yang terjadi sekarang adalah kabar baik bagi demokrasi di tengah kemunduran demokrasi yang terjadi. Dengan melakukan berkali-kali aksi, itu adalah pendidikan politik riil dan menjadi pengingat kepada kekuasaan agar tidak berpikir dapat melakukan apapun tanpa adanya kontrol sosial.

"Kekuatan gerakan mahasiswa dan anak-anak muda khususnya di Asia Tenggara tercatat mempunyai warna dan corak kosmopolitan yang melek teknologi serta lentur bergerak dan berbeda dengan generasi sebelumnya," katanya.

Dia menambahkan, gerakan mahasiswa hari ini hidup di tengah situasi manipulasi opini publik yang membanjiri media sosial dengan volume luar biasa dahsyat setiap hari, yang digerakkan oleh mesin-mesin cybertroop dengan pembiayaan besar dan sangat terorganisir.

Selain itu, gerakan mahasiswa saat ini juga membawa makna tersendiri karena wacana perpanjangan jabatan presiden dan penundaan pemilu menjadi gagal setelah adanya aksi gerakan mahasiswa masif yang menentang segala wacana buruk tersebut. 

"Presiden Jokowi kemudian menegaskan bahwa Pemilu 2024 akan dilaksanakan sesuai jadwa. Untuk itu gerakan mahasiswa harus diberi selamat," pungkas dia.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Marselinus Gual
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan