Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai mengidap narsistik lantaran memamerkan semua kemenangannya dalam kontestasi politik saat memberikan sambutan dalam perayaan HUT Partai Perindo di Jakarta, Senin (7/11) lalu.
Kala itu, Jokowi menyebut, memenangi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Surakarta 2005 dan 2010, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012, serta Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019.
"Nah, ini tepat banget ini, narsisme Jokowi," kata pengamat politik Universitas Paramadina Jakarta, Ahmad Khoirul Umam, kepada Alinea.id, Rabu (9/11).
Menurutnya, pernyataan tersebut disampaikan Jokowi karena seakan-akan ingin menunjukkan level capaian dan kelas politiknya jauh berbeda dengan para politikus yang kalah dalam pilres. Lalu, mengalami surplus kepercayaan diri.
"Jokowi seolah kehilangan sensitivitasnya karena statement-nya itu bukan hanya menyinggung Prabowo yang telah kalah di Pilpres 2014 dan 2019, tetapi juga secara tidak langsung menyinggung Megawati Soekarnoputri, yang juga pernah kalah berturut-turut di Pilpres 2004 dan 2009. Bahkan, kekalahan Megawati saat itu terjadi saat dirinya berada di posisi incumbent," tuturnya.
Khoirul berpandangan, pernyataan itu, yang menurunkan level sensitivitasnya, terlontar imbas tingginya ego Jokowi lantaran telah lama berkuasa. Apalagi, kekuasaannya tanpa diimbangin periksa dan timbang (check and balance).
"Sehingga, menjadi penting bagi dirinya untuk memamerkan capaian dan menunjukkan kelasnya yang berbeda jauh dari Prabowo dan Megawati itu sendiri," ucapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) ini melanjutkan, Jokowi semestinya paham dan lebih sensitif mengingat karier politiknya tidak lepas dari peran Prabowo yang mendukungnya pada Pilgub Jakarta dan Megawati pada Pilpres 2014-2019.
"Dalam tradisi Jawa, sebaiknya Jokowi kembali memahami nasihat ojo dumeh, jangan mentang-mentang, karena di balik capaian dan prestasi kita, selalu ada peran orang lain di belakangnya," tutup Khoirul.