Sederet nama selebritas alias pesohor mengorbit pada bursa kandidat Pilkada Serentak 2024 di berbagai daerah. Di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, misalnya, nama-nama pesohor yang diisukan bakal maju atau diusung parpol tergolong masif. Ada Denny Cagur, Rachel Maryam, pelawak Oni SOS, dan Abdel Achrian.
Anissa Ahmad, adik Raffi Ahmad yang juga kader Partai Amanat Nasional (PAN) juga digosipkan bakal didorong mencalonkan diri oleh PAN. Di Golkar, eks Wakil Bupati Bandung Sahrul Gunawan disiapkan untuk maju jadi calon bupati. Di layar kaca, Sahrul populer karena serial Jin dan Jun dan Kecil-Kecil Jadi Manten.
Di Pilwalkot Surabaya, Jawa Timur, nama pentolan grup band Dewa 19 Ahmad Dhani sedang dipoles Gerindra sebagai salah satu kandidat wali kota. Pada Pileg 2024, Dhani berhasil lolos menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Surabaya-Sidoarjo setelah mengoleksi 134.227 suara.
Di Sumedang, Jawa Barat, nama presenter Irfan Hakim beredar di bursa kandidat bupati, sedangkan di Kota Batu, Jawa Timur, diva pop Indonesia yang juga kader PDI-Perjuangan, Krisdayanti sudah mengambil ancang-ancang untuk maju. Di Pilgub Jawa Tengah, Raffi Ahmad diisukan bakal berpasangan dengan eks Bupati Kendal sekaligus politikus Golkar Dico Ganinduto.
Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro menilai figur-figur pesohor memang sengaja dimunculkan parpol di pilkada serentak kali ini. Selain sebagai kandidat utama, para pesohor juga dipasangkan dengan kader untuk mendongkrak popularitas para jagoan parpol secara instan.
"Dengan menggandeng atau mendorong artis yang sudah memiliki keterkenalan, partai dan tim kampanye sudah tidak dipusingkan dengan sosialisasi. Pilkada itu pertarungan figur. Artis-artis ini punya basis popularitas yang jelas dibanding orang yang bukan artis," ucap Agung kepada Alinea.id, Jumat(17/5).
Agung mencontohkan viralnya cuplikan sesi foto antara Dico-Raffi. Keduanya diisukan bakal berpasangan setelah tampil bersama dengan pakaian senada dalam sebuah sesi foto yang diunggah di media sosial. Warganet ramai-ramai memprediksi keduanya bakal maju di Pilgub Jateng 2024.
Aksi foto bareng itu, menurut Agung, merupakan upaya Dico mendongkrak popularitas serta mengunci rekomendasi dari Golkar. "Ini strategi marketing politik untuk mempopulerkan Dico di masyarakat Jawa Tengah dengan melibatkan Raffi Ahmad. Bisa jadi nanti bukan dengan Raffi Ahmad," kata dia.
Lebih jauh, Agung menilai para pesohor yang diorbitkan parpol lazimnya sudah punya modal kampanye yang besar, baik dari segi elektabilitas dan isi tas. Dengan terpenuhinya kedua faktor, beban parpol untuk kampanye bakal lebih ringan. "Jadi, itu juga yang membuat partai- partai lebih banyak melirik mereka ketimbang yang bukan artis," imbuhnya.
Agung mengatakan tak semua pesohor diragukan kecakapannya dalam mengelola pemerintahan. Namun, parpol sebaiknya memberikan pelatihan khusus di bidang manajemen pemerintahan kepada kandidat-kandidat di kalangan pesohor.
"Seperti, misalnya, PDI-P yang menggelar sekolah partai. Bahkan ada partai yang melakukan pendampingan dengan melibatkan konsultan melatih komunikasi publik, sehingga kandidat mereka siap tempur. Banyak partai melakukan itu sebenarnya," jelas Agung.
Analis politik dari Universitas Medan Area, Khairunnisa Lubis menilai faktor efisiensi dan efektivitas jadi alasan parpol menggandeng pesohor di pilkada. Dengan menggandeng pesohor, parpol tak perlu mengeluarkan dana besar untuk mendongkrak elektabilitas. Di lain sisi, kader-kader militan parpol lazimnya tak dikenal publik di daerah.
"Popularitas artis dijadikan parpol sebagai komoditas politik. Selain memang menghemat pengeluaran saat kampanye, cara ini dianggap paling pamungkas untuk menaikkan elektabilitas partai. Yang terpenting bagi parpol adalah jumlah penggemar, bukan lagi gagasan yang akan dipaparkan," ucap Khairunnisa kepada Alinea.id, Kamis (16/5).
Meski populer, Khairunnisa menilai tak semua pesohor layak diusung maju jadi kandidat pemimpin di daerah. Tanpa merinci, ia menyebut sejumlah pesohor yang sudah terlibat dalam birokrasi dan pemerintahan yang sekarang kinerjanya melempem.
"Walaupun bukan berarti di sini figur artis tidak layak menjadi kepala daera. Hanya saja negara kita masih kental dengan penyakit latah. Jika satu berhasil menerapkan konsep A, maka dua, tiga, empat dan seterusnya akan menggunakan konsep A itu," ucap Khairunnisa.
Khairunnisa menilai bakal ada beragam dampak negatif yang muncul jika strategi menurunkan pesohor di pemilu terus direplikasi. Salah satunya ialah melemahnya kemampuan masyarakat dalam menyortir para calon pemimpin di daerah.
"Masyarakat mengalami political hyperreality, kondisi di mana mereka tak mampu membedakan mana calon yang tepat dan tidak mana yang layak dan yang tak layak diberi mandat kekuasaan," kata dia.