Peran partai politik (parpol) dianggap masih "jauh panggang dari api" karena belum seutuhnya mencerminkan aspirasi rakyat. Peran oposisi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun demikian, setengah hati.
"'Jauh panggang dari api' antara aspirasi rakyat dan keputusan parpol di parlemen," kata Ketua Umum Partai Buruh, Said Iqbal, dalam telekonferensi, Kamis (30/12).
Dirinya lalu mencontohkan dengan penolakan terhadap publik terhadap pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), yang diekspresikan dengan sejumlah aksi. Namun, DPR tetap mengesahkan, padahal proses pembahasannya penuh kontroversi.
"Dan itu lagi-lagi [prosesnya] sangat cepat di masa pandemi Covid-19. Rakyat tidak bisa berdemonstrasi karena larangan lockdown, PSBB (pembatasan sosial berskala besar), dan terakhir PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat)," tuturnya.
Pengesahan UU Cipta Kerja (Ciptaker) adalah wajah buruk kinerja parpol lainnya. Pangkalnya, tetap dikebut proses pembahasan hingga pengesahannya sekalipun menuai penolakan secara luas.
Pun begitu saat parpol diminta menjadi saksi fakta uji materi UU Ciptaker di Mahkamah Konstitusi (MK). Semuanya menghindar.
"Parpol selalu membela diri terhadap apa yang ditolak rakyat. Akhirnya, Partai Buruh berpendapat, peran parpol belum maksimal bahkan cenderung jauh dari aspirasi rakyat," tegasnya.
Menurut Said, peran parpol oposisi juga sangat lemah sejak 2014. Kondisi berbeda terjadi saat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi oposisi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"[Kala itu,] PDIP sebagai oposisi kuat sekali. Walaupun dia ditinggal parpol lain, PDIP memainkan peran oposisi. Rakyat merasa ada saluran politik. Ketika sekarang Pak Jokowi [memimpin] dari 2014 sampai 2024, parpol oposisi setengah hati, setengah jalan," pungkasnya.