Polemik Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi (TWK KPK) berlarut hanya dijadikan panggung besar yang ramai dan lama.
Sekjen Partai Gelora Indonesia, Mahfudz Siddiq, menilai, TWK KPK dilihat dari perspektif politik ada yang hendak menjadikan sebagai panggung besar.
"Saya melihat dari perspektif politik, ini ibarat satu panggung kecil. Karena ini perkara kecil. Saya membacanya panggung ini ingin dibuat ramai. Di atas panggung itu ada yang pro kontra mereka tidak terlalu peduli," ungkap Mahfudz dalam Webinar Series Moya Institute bertajuk "Kontroversi Temuan TWK 51 Pegawai KPK", Jumat (13/8).
Yang penting goalnya, lanjut Mahfudz, bukan ingin kembali ke KPK. Tapi, panggung ini ujungnya sampai 2024.
"27 Mei lalu, saat membawa kasus ini ke Komnas HAM, salah seorang dari mereka mengatakan persoalan ini akan selesai kalau Presiden pro terhadap pemberantasan korupsi. Jadi, intinya panggung ini akan dibikin panjang, orang diundang ramai-ramai," bebernya.
Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, menilai, masalah TWK ini sudah hampir selesai ketika tereleminasinya 51 orang pegawai KPK dari alih status ASN dan yang sebagian lulus.
"Ternyata polemik tidak sampai disitu setelah ada temuan Ombudsman, di mana hasilnya ada maladministrasi dan rekomendasinya meminta agar ada koreksi terhadap 51 pegawai KPK yang tidak lulus untuk diangkat," imbuhnya.
Selain itu, sambung Hery, mereka meminta Presiden untuk turun tangan. Sebagai orang awam hukum, ia mengaku lebih banyak menyimak. Namun, kalau sampai meminta Kepala Negara turun tangan langsung berlebihan.
"Hemat saya, jika kita terlalu larut dengan polemik ini, tidak produktif di tengah upaya bangsa kita memutus mata rantai penyebaran Covid-19," ujarnya.
Pakar Hukum Administrasi Negara, Aidul Fitriciada, memaklumi jika ada anggapan polemik TWK KPK ini bukan persoalan hukum.
Menurut dia, dalam membaca kasus ini ada persoalan yang bukan semata-mata hukum. "Tapi soal untuk menyelesaikan hubungan antar lembaga. Termasuk TWK, penyelesaiannya seperti apa. Ini harus betul-betul selesai dengan prinsip hukum yang ketiga. Yaitu, menemukan kemaslahatan bersama, kepentingan bangsa yang diutamakan dengan kemudian tidak menguras energi," pungkas Aidul.