Sejumlah partai politik masih saja mengajukan calon anggota legislatif (Caleg) koruptor atau mantan narapidana korupsi pada Pileg 2019.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 perihal pencalonan anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan tegas melarang mantan napi korupsi, mantan napi kejahatan seksual terhadap anak, dan mantan napi bandar narkoba.
Hanya saja, ada beberapa partai tetap nekat mencalonkan koruptor yang jelas-jelas telah dilarang. Misalnya saja, Partai Golkar memasukan dua mantan narapidana kasus korupsi dalam daftar bakal Caleg 2019, yaitu Teuku Muhammad Nurlif dan Iqbal Wibisono.
Ada lagi, Bacaleg dari Partai Gerindra yaitu Wakil Ketua DPRD DKI Muhammad Taufik yang juga didaftarkan oleh partai pimpinan Prabowo Subianto tersebut.
Menanggapi hal itu, Anggota KPU Wahyu Setiawan mengatakan pihaknya sudah jauh-jauh hari mengimbau kepada partai politik agar tidak mencalonkan kader-kader Parpol yang bermasalah.
"Semua pihak tentu saja harus menghormati PKPU. Sebab PKPU sudah diundangkan. Itu artinya semua pihak dianggap mengakui. Dan semua pihak diharapkan menghormati," jelas Wahyu di gedung KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Kamis (19/7).
Kendati demikian, dia juga menyatakan tetap menghormati upaya pengujian yang dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA). Tetapi, sepanjang belum adanya putusan MA, maka terkait dengan PKPU 20/2018, KPU tetap berpegang dan berpedoman kepada PKPU tersebut.
Hingga kini berkas-berkas yang telah masuk ke KPU sudah dalam proses seleksi.
"Jadi prinsipnya semua bakal calon anggota DPR RI dan DPRD harus melengkapi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang dan Peraturan KPU," kata Wahyu.
Termasuk tiga syarat larangan mencalonkan DPR RI maupun DPRD Provinsi, Kota/Kabupaten yaitu terhadap mantan napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak dan mantan napi bandar narkoba.
Hingga kini pihaknya masih mengumpulkan data-data tersebut. Sebab, di beberapa daerah ada informasi tentang mantan napi korupsi yang dijadikan Bacaleg seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sumatra Utara.
"Ada informasi tentang itu, kami perintahkam untuk ditetapkan dulu salinannya, biar kita mampu bertindak adil berdasarkan ketentuan yang berlaku," tegasnya.
Maka itu, KPU harus memastikan ada dokumen hukum yang resmi berupa salinan putusan agar menjadi dasar bagi KPU untuk menyatakan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat. Tanpa salinan putusan tersebut, pihaknya tidak bisa berbuat banyak.
Seandainya benar-benar ditemukan adanya napi korupsi, maka partai akan diminta untuk mengganti Bacaleg tersebut.
Dalam menentukan bahwa seorang calon yang dicalonkan oleh partai politik adalah calon bermasalah, KPU sangat berhati-hati dalam menentukannya.
Apalagi, Indonesia memiliki 514 kabupaten/kota yang artinya ada banyak bakal calon anggota DPRD dan DPR. Untuk memastikan Bacaleg yang di usung ternyata merupakan mantan narapidana korupsi, KPU membutuhkan dokumen pendukung.
"Ini kehati-hatian saja, kami ingin memastikan bahwa pada saat kami mengeksekusi yang bersangkutan, pihaknya memiliki cukup data hukum yang kokoh," jelasnya.
Dokumen tersebut bisa berasal dari Mahkamah Agung (MA) ataupun pengadilan. Selain melakukan koordinasi dengan MA, pihaknya juga berkordinasi dengan kepolisian dan KPK.
"Meksipun tentu saja kalo bicara salinan putusannya dalam hal ini konteksnya berasal dari MA," jelasnya.
Sementara itu, meski sudah ada beberapa pihak yang melakukan gugatan ke Mahkamah Agung, namun hingga kini KPU belum mendapatkan panggilan dari MA. KPU akan terus berupaya agar PKPU tersebut dipertahankan, melalui mekanisme yang ada.
"Jika kemudian ada pihak pihak tertentu yang akan menguji PKPU melalui MA sudah tentu KPU dalam posisi akan berupaya mempertahankan," tegasnya.