Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) menegaskan bahwa kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden harus tegas terhadap ancaman radikalisme apabila terpilih.
Ketua Umum Pepabri Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar mengatakan radikalisme itu ada yang berafilisiasi ke paham komunis, liberalisme dan paham ekstrim agama.
"Radikalisme itu adalah sikap yang ingin mengubah NKRI. Atas ancaman tersebut, pasangan calon nomor urut 01 maupun 02 harus tegas," kata Agum usai deklarasi dukungan "Bravo Cijantung", di Jakarta, Selasa (5/2).
Dia mengatakan sikap tegas para paslon tersebut dibutuhkan agar NKRI dan Pancasila tetap jaya di Indonesia. Menurut dia, apabila ada pihak yang tidak suka dengan pemerintah, maka tak perlu disalurkan dengan tindakan radikal karena ada saluran sendiri, yaitu Pemilu.
"Jangan karena ketidaksukaan terhadap pemerintah, maka disalurkan dengan mendukung gerakan radikal, itu keliru besar. Kalau tidak suka dengan pemerintah ada salurannya, saat Pemilu 17 April 2019, taati aturan dan etika demokrasi," ujarnya.
Dia juga mengimbau kepada semua pihak untuk menaati norma dan etika demokrasi. Juga, tidak menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan di Pemilu 2019.
Dalam kesempatan itu, Agum kembali menegaskan bahwa Pepabri dan organisasi seperti Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut (PPAL), Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU), dan Legiun Veteran akan bersikap netral di Pemilu 2019.
Kendati demikian, dirinya mempersilakan para individu dari organisasi tersebut untuk memiliki pilihan politik sendiri. Pasalnya, setelah menjadi purnawirawan, mereka memiliki hak memilih dan dipilih.
"Masing-masing anggota purnawirawan di organisasi mana pun, sebagai individu, memiliki hak politik yang sama dengan masyarakat biasa," kata dia.
Dia juga menepis anggapan yang menyebut Kopassus dan para purnawiran mengarahkan suaranya ke capres Prabowo Subianto. Namun, dia maklum jika memang ada perbedaan pilihan antara para purniwarawan.
"Punya hak pilih dalam menggunakan hak memilih, juga terjadi perbedaan memilih. Bukan pecah, tetapi perbedaan itu wajar karena ada dua pilihan," ujarnya. (Ant)