close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Prabowo Subianto berubah halauan setelah Pilpres 2019. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Prabowo Subianto berubah halauan setelah Pilpres 2019. Alinea.id/Oky Diaz.
Politik
Selasa, 22 Oktober 2019 20:25

Barisan patah hati pendukung Prabowo dan nihilnya etika berpolitik

Sikap Prabowo Subianto yang mendukung pemerintah, mengundang kecewa para relawannya.
swipe

“Air mata kami masih meleleh, kuburan saudara kami masih basah, ulama kami masih dikriminalisasi, yang berdarah belum kering, dan harta yang kami sumbangkan buat 02 juga tidak bisa kembali.”

Pernyataan itu dilontarkan juru bicara Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Chaidir Hasan Bamukmin kala dihubungi Alinea.id, Senin (21/10).

Saat perhelatan Pilpres 2019, PA 212 merupakan salah satu kelompok pendukung pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.

Bagi orang-orang yang terlibat secara aktif dalam Pilpres 2019, baik itu simpatisan maupun partai politik pengusung, kontestasi politik lima tahunan itu terasa panjang dan melelahkan.

Suhu politik juga memanas, dan bertaburan narasi kebencian dari kelompok pendukung Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi.

Eskalasi Pilpres 2019 yang begitu tinggi, bukan tanpa sebab. Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengangkatnya di dalam bukunya Rematch Pilpres: Kontestasi Elektoral dan Keterbelahan Publik (2019).

Pangi menulis, terbelahnya masyarakat saat Pilpres 2019 berpangkal dari dangkalnya narasi substansial kedua kandidat.

"Diperparah, ditularkan ke para tim sukses masing-masing," tulisnya.

Pangi melihat, tim sukses kedua kandidat senang melakukan pembelaan membabi buta daripada memberikan saran dan masukan yang produktif.

"Sehingga tak jarang melakukan perdebatan yang tidak pantas dipertontonkan di hadapan publik," ujarnya. Akibatnya, “penyakit” politisi itu menular ke masyarakat secara luas.

Singkat cerita, akhir dari drama pertarungan politik itu bagi sebagian pendukung dirasakan sangat mengecewakan. Sebab, mereka sudah mati-matian membela jagoannya, tetapi yang didukung malah menyeberang ke kubu lawan.

Prabowo dan Jokowi bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. /Antara Foto.

Lelah yang dibayar kecewa

Kekecewaan itulah yang dirasakan Novel Bamukmin, saat mengetahui Prabowo menyeberang ke koalisi Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dan disebut-sebut akan menjadi menteri di bidang pertahanan.

Pada 21 Oktober 2019, bersama Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo, Prabowo datang ke Istana Negara, Jakarta. Sebelumnya, Prabowo pun bersafari politik, bersua beberapa ketua umum partai politik Koalisi Indonesia Kerja (KIK).

Akan tetapi, Novel maklum dengan sikap Prabowo, yang punya latar belakang sebagai pengusaha. Novel menganggap, kalkulasi yang dipakai Prabowo untuk urusan politik adalah hitung-hitungan berdagang, yang hanya mencari keuntungan semata—atau setidaknya balik modal.

“Sedangkan kami menggunakan kalkulasi pejuang. Artinya, ada atau tidak ada peluang, kami tetap berjuang sampai keadilan tegak dan jelas, tidak akan berkoalisi dengan kezaliman, kecurangan, dan kemungkaran,” ujar Novel.

Menurut Novel, terlalu murah dan hina kalau PA 212 ikut bergabung dengan pemerintah. Sebab, kata dia, banyak umat yang merasakan kesengsaraan, imbas dari konflik politik saat Pilpres 2019.

Bukan cuma memakan korban jiwa, PA 212 belum menerima karena ulama, menurutnya, acap kali dikriminalisasi.

Meski begitu, Novel berharap, jika Prabowo masuk ke dalam pemerintahan, ia masih bisa menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan arah perjuangannya. Novel berharap, Prabowo masih tetap peduli dengan kelompok pendukungnya, yang mati-matian membelanya.

“Agar ulama kami semua di-SP3 (surat penghentian penyidikan perkara), juga HRS (Habib Rizieq Shihab) bisa kembali, serta usut hilangnya nyawa para mujahid politik dari pemilu sampai demo mahasiswa dan pelajar kemarin,” ujar Novel.

Kekecewaan serupa dirasakan Ajeng, seorang relawan dari Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo-Sandi (Pepes). Menurut Ajeng, keputusan Prabowo sama saja tak menghormati pihak yang sudah berjuang keras untuk memenangkan dirinya.

“Dia harusnya ingat, ada orang yang sampai meregang nyawa karena mati-matian mendukung dia,” kata Ajeng saat dihubungi, Senin (21/10).

Ajeng pun mengaku menyesal sudah bergerilya mengampanyekan Prabowo-Sandi. Ketika masa Pilpres 2019, Ajeng dan teman-temannya memiliki strategi bernama “kepung”, kependekan dari keliling kampung. Mereka mengetuk dari satu pintu ke pintu lain untuk memperkenalkan program Prabowo-Sandi.

Kurang elok, ujar dia, jika Prabowo merapat ke pemerintah. Terlebih, menjadi menteri. Hal itu, menurutnya, sama saja menurunkan derajat dan menyia-nyiakan usaha para relawan yang berjuang. Ia berujar, semestinya Prabowo menjadi oposisi untuk menyalurkan aspirasi pemilihnya.

"Dari capres menjadi menteri kayaknya kan turun banget. Kalau saya jujur kecewa banget, apalagi kemarin relawannya kan sampai ada yang tewas," ujarnya.

Selain itu, Ajeng pun merasakan ketika Pilpres 2019 membawa konflik hingga ke rumah tangganya. Hubungannya dengan sang suami kurang harmonis. Sebab, suami merupakan pendukung setia Joko Widodo.

"Suami saya itu kekeh memilih Jokowi, dengan alasan Jokowi dipandang pemimpin yang sederhana," tuturnya.

Perdebatan kerap memuncak saat debat kandidat. “Namun, sekarang sudah cair lagi. Dan, kami kembali hidup bahagia,” katanya.

Ketua Militan Prabowo-Sandi (MPS), Raihan Yamani, yang merupakan relawan pendukung pasangan nomor urut 02 lainnya, juga merasa kecewa.

Raihan mengaku, saat berjuang memenangkan Prabowo-Sandi, ia masuk ke kantong-kantong suara Jokowi-Ma’ruf. Misalnya, wilayah Majalengka yang merupakan salah satu basis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Jawa Barat. Akan tetapi, Raihan menyadari, ia cuma relawan.

“Keputusan Gerindra itu ya tergantung elite Gerindra," ujarnya saat dihubungi, Senin (21/10).

Presiden Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) dalam pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10). /Antara Foto.

Politik konco

Dihubungi terpisah, CEO sekaligus pemimpin redaksi RMOL.id Teguh Santosa yang mengaku pernah mengambil posisi mendukung Prabowo saat Pilpres 2019 mengatakan, terkait adanya pihak yang kecewa terhadap sikap Prabowo, tak akan memengaruhi partisipasi publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Sejauh ini, kata dia, konflik hanya meningkat saat pemilu saja. Setelah itu, semua kembali lagi ke titik semula.

"Hal itu bisa dilihat dari sikap Rocky Gerung yang menyebut Prabowo sampah, tapi dia berpelukan dengan Prabowo saat rakernas (rapat kerja nasional Gerindra) kemarin," tuturnya saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/10). Teguh pun yakin, masyarakat akan tetap kritis dengan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

Sementara itu, Ketua Umum Relawan Prabowo-Sandi (Prasa) Ahmad Murlan Pasaribu mengaku tak kecewa sama sekali dengan perubahan halauan Prabowo dan elite Partai Gerindra. Ia pun mengatakan, tak peduli dengan sikap elite Gerindra.

Menurut Murlan, dukungannya berdasarkan seruan ulama. "Dan bukan karena Prabowo ataupun Sandiaga Uno," ujarnya saat dihubungi, Senin (21/10).

Melihat kondisi ini, Murlan menuturkan, tak akan tinggal diam. Ia bersama elemen PA 212 menyatakan siap menjadi kekuatan oposisi.

"Yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, yang tak pro terhadap rakyat," katanya.

Murlan mengatakan, akan mengusahan dialog terlebih dahulu dalam melayangkan protes terhadap kebijakan pemerintah. Bila sudah takbisa, pihaknya akan melakukan mobilisasi secara besar-besaran.

Teguh Santosa pun tak terkejut dengan keputusan Prabowo yang merapat ke KIK. Menurutnya, demokrasi di Indonesia memiliki cita rasa oposisi yang berbeda dengan negara lain. Sistem presidensial multipartai di Indonesia, kata dia, punya corak bias antara oposisi dan koalisi.

"Karena dalam oposisi akan ada hal yang bernuansa koalisi," ucapnya.

Teguh mengatakan, hal ini dipengaruhi hubungan individu antarpatron politik, yang sejak dahulu ada dalam politik nasional. Maka, takbisa dimungkiri ada distribusi kekuasaan antara pemenang dan pihak yang kalah.

"Perkoncoan itu memengaruhi sistem politik kita. Hubungan Megawati dan Prabowo itu kan sebenarnya yang menjadi ikatan kuat," ujarnya.

Meski begitu, ia tak khawatir dengan bergabungnya Gerindra, yang kemungkinan akan memupuskan check and balance di DPR. Teguh berkaca pada dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Peran check and balance tetap hidup, seiring timbulnya friksi di internal koalisi.

"Sifat oposisi itu bakal muncul ketika ada kasus yang muncul. Jika ada kasus yang menimpa partai koalisi, di situ nanti akan ada sifat oposisi dari internal koalisi,” kata dia. “Hal itulah yang dahulu membuat SBY kerepotan mengurusi koalisinya."

Teguh yakin, partai politik pendukung pemerintah hanya mengalami “bulan madu” sebentar. Sebab, bakal muncul friksi di dalamnya.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) bersama Sandiaga Uno tiba untuk menghadiri upacara pelantikan Presiden dan Wakil presiden periode 2019-2024 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10). /Antara Foto.

Kerugian bagi Prabowo

Pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Hendri Satrio menilai, masuknya Gerindra ke pemerintahan bakal menjadi buah yang positif bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sebab, kemungkinan besar, pendukung yang kecewa dengan Prabowo akan beralih mendukung PKS yang konsisten menjadi oposisi.

"Pokoknya PKS diuntungkanlah Prabowo masuk kabinet," ujarnya saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/10).

Sementara dalam pandangan Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, kekecewaan pendukung Prabowo bisa berujung pada menurunnya elektabilitas Prabowo dan Gerindra.

Alasannya, di dalam partisipasi publik ada variabel apatisme politik dan aspek teknis. Namun, kata Qodari, jika masyarakat kecewa, maka akan tak dipilih lagi.

Qodari mengatakan, dengan merapatnya Prabowo ke pemerintahan, potensi kerugian sedang menghantui Prabowo. Hal itu memungkinkan, pihak yang awalnya “melawan” Jokowi bisa berbalik “melawan” Prabowo.

"Prabowo masuk ke kabinet itu risiko terbesar ada di Prabowo, bukan di Jokowi. Yang milih Prabowo pasti kecewa," tuturnya saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/10).

Namun, menurut Qodari, masalah itu masih bisa disiasati. Caranya, performa Prabowo jika masuk Kabinet Kerja II ditingkatkan. Qodari melihat, jika Prabowo berhasil membuat rapor positif, bukan tidak mungkin segmen pemilihnya malah bertambah.

"Karena kalau dia di luar pemerintahan pemilihnya hanya yang di 2019 saja. Tapi kalau dia masuk, yang milih dia dahulu bakal dukung, yang dahulu tidak dukung dia pun berpotensi bakal mendukung," ujar Qodari.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) didampingi Wakil Ketua Umum Edhy Prabowo mengangkat ibu jari seusai bertemu Presiden Joko Widodo di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10). /Antara Foto.

Tak ada ideologi dan etika

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menuturkan, loncatnya Gerindra ke koalisi Jokowi-Ma’ruf merupakan ekses dari tidak adanya ideologi yang jelas dalam sebuah partai politik. Maka, para elite partai politik seenaknya berpindah gerbong, tanpa memikirkan etika politik.

"Karena merasa pragmatis saja dan tidak punya pegangan," ucap Firman saat dihubungi, Selasa (22/10).

Praktik ini, sebut Firman, berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin. Di sana, ideologi sangat kental menjadi panduan bersikap para politisi.

“Pembedaan dengan yang sosialis dan liberal itu jelas. Jadi orang tidak mudah membentuk kabinet dengan berbagai macam latar belakang," ujar dia.

Selain di negara-negara Amerika Latin, ideologi juga sangat kental di negara-negara demokratis yang maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Di Amerika Serikat, kata dia, politikus Republik takbisa dengan mudah melompat ke Demokrat.

“Di Indonesia itu tak ada. Spirit itu sudah dipunahkan di era Soekarno dan dilanjutkan di era Soeharto, dengan proyek yang bernama deideologisasi,” kata dia.

Pada masa pemerintahan Soeharto, ideologi harus Pancasila dan mesti berorientasi pada pembangunan. “Sampai-sampai partai Islam saja disebut Partai Persatuan Pembangunan," ujarnya.

Di samping itu, Firman memandang, lingkungan yang kurang dewasa ikut memengaruhi buruknya etika politik para politisi. Menurutnya, sudah tak ada lingkungan yang membangun rasa malu.

“Ini yang terjadi di masa 2004, ketika pemilihan secara langsung. Saat kampanye mendukung siapa, saat kabinet mendukung siapa," ucapnya.

Rekam jejak politik ketika Pilpres 2019 dan setelahnya. Alinea.id/Oky Diaz.

Firman pun melihat, ada kebutuhan para elite politik yang memerlukan kekuasaan untuk memperlancar kepentingannya. Hitung-hitungan elite agar tetap berada di kekuasaan ini yang tak diterjemahkan dengan mudah oleh publik.

Ia menyarankan publik tak mudah terjebak dalam kepentingan elite yang sangat pragmatis. Caranya, dengan memperdalam literasi politik.

“Agar tak hanya jadi pengikut. Tapi harus menjadi orang yang independen menganalisis pandangan," ujar Firman.

Ia juga menyarankan kepada politisi untuk tidak memainkan emosi publik menjadi tak ubahnya suporter demi kepentingan sesaat. Sebab, hal itu berisiko membelah masyarakat.

"Saya tahu, sebenarnya secara jujur mereka (politisi) bisa tahu mana perang yang sifatnya personal, yang masuk ke masalah privat dan identitas," katanya. "Kemarin itu pertarungan emosional, bukan rasional. Ke depan, kita harus belajar ke persaingan yang rasional.” (FMK).

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan