close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan berfoto bersama usai pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (1/10). /Antara Foto
icon caption
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan berfoto bersama usai pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (1/10). /Antara Foto
Politik
Senin, 28 Oktober 2019 20:56

PDI-P dan Gerindra dinilai khianati suara rakyat

Langkah Gerindra dan PDI-P mengganti caleg terpilih indikasi kesewenang-wenangan petinggi parpol.
swipe

Langkah Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dan Partai Gerindra mengganti sejumlah caleg pemenang Pileg 2019 jelang pelantikan dinilai tak etis dan melanggar sistem kepemiluan di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, kedua parpol itu mengkhianati suara konstituen. 

"Menurut UU maupun putusan MK, dan juga peraturan KPU, penentuan calon terpilih sepenuhnya berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh oleh caleg. Namun, dalam praktiknya partai politik mengambil langkah untuk memberhentikan caleg dengan suata terbanyak agar caleg yang dikehendaki bisa menduduki kursi DPR atau DPRD," ujar Titi dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (28/10). 

PDI-P diketahui mengganti 3 calon anggota DPR terpilih pada saat sidang pleno penetapan calon digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 31 Agustus 2019. Satu caleg diganti karena meninggal dunia, sedangkan dua lainnya diganti karena dipecat dan mengundurkan diri.

"Untuk kasus meninggal dunia menjadi relevan untuk diganti karena memang sesuai aturan. Namun, untuk kasus pemecatan dan pengunduran diri harusnya dilakukan setelah proses pelantikan selesai. Mekanisme tersebut harus dilakukan dengan pembuktian di dalam proses persidangan yang fair," jelas Titi.

Adapun pergantian caleg di Partai Gerindra bermula dari gugatan sejumlah caleg Gerindra lainnya ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dalam gugatan tersebut, caleg yang tak lolos meminta pengadilan mengganti para caleg pemenang pemilu yang dipecat Gerindra. 

Gugatan tersebut dikabulkan PN Jaksel. Dalam dokumen putusan, menurut Titi, terdapat keterangan ahli yang menyatakan bahwa jika suara partai politik lebih besar daripada suara caleg, maka partai politik dapat menentukan siapa yang berhak mendapatkan kursi anggota legislatif.

Namun demikian, menurut Titi, pertimbangan hakim tersebut tidak sesuai dengan ketentuan distribusi kursi yang termaktub di Pasal 420 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu. 

Disebutkan di pasal itu, penetapan perolehan jumlah kursi tiap parpol dilakukan dengan ketentuan membagi suara sah setiap parpol dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3,5,7, dan seterusnya. Singkatnya, caleg peraup suara terbanyak berhak ditetapkan menjadi pemenang pileg. 

"Berdasarlan ketentuan ini maka sebenarnya sangat jelas bahwa untuk menentukan calon trrpilih adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak. Sehingga, bisa dibilang keputusan menggantikan mereka bertentangan dengan sistem demokrasi pemilu kita yang ada," ungkap Titi.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (tengah kanan) dalam diskusi di Upnormal Cafe, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (28/10). Alinea.id/Fadli Mubarok

Arogansi parpol

Peneliti Pusat Studi Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Hurriyah menilai kasus-kasus pergantian caleg terpilih tersebut menunjukkan arogansi parpol pemenang pemilu. Menurut dia, PDI-P dan Gerindra terkesan mengadopsi sistem pemilu proporsional tertutup dengan sewenang-wenang mengganti caleg terpilih.

"Jadi, dalam diskursus revisi UU Pemilu, ada dua parpol yang setidaknya mendorong agar kembali ke sistem proporsional tertutup. Kedua parpol tersebut PDI-P dan Golkar. Gerindra memang posisinya belum ke situ, tapi gelagat mereka demikian," jelas Hurriyah.

Menurut Hurriyah, pergantian caleg menunjukkan bahwa banyak parpol yang ingin sistem pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup. Namun, lantaran sistem proporsional terbuka telah disepakati, parpol-parpol itu kemudian mengambil jalan pragmatis. 

Di satu sisi, lanjut Hurriyah, parpol-parpol tersebut merekrut banyak caleg populer demi memastikan diri lolos ambang batas parlemen. Di sisi lain, para petinggi parpol masih tetap merasa 'berwenang' menentukan siapa pun caleg yang akan mereka loloskan ke Senayan. 

"Nah, ada banyak kasus di mana, misalnya, ada caleg kader parpol yang populer dan punya basis konstituen yang baik. Tapi, kalau dia dianggap bukan kader yang loyal, ini kan bisa saja parpol memindahkan orang itu atau memecatnya," jelas Hurriyah.

Pada akhirnya, menurut Hurriyah, situasi tersebut menunjukkan bahwa parpol tidak begitu mempedulikan suara pemilih. "Mereka secara tidak langsung juga tidak memghormati daulat rakyat. Hal ini sejatinya merupakan problem serius yang harus menjadi sorotan semua pihak," kata dia. 

 

img
Fadli Mubarok
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan