Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto mengatakan partainya tidak akan mengusung mantan narapidana kasus korupsi di Pilkada 2020.
Dia menerangkan, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sudah tegas akan hal ini, yakni tidak mencalonkan mantan narapidana kasus korupsi, termasuk pada pemilihan legislatif di 2019.
"Pernyataan ibu ketua umum sudah clear, untuk caleg tidak diizinkan. Pilkada juga tidak diizinkan," kata Bambang di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12).
Bambang mengatakan keputusan itu tidak akan berubah meskipun Mahkamah Konsitusi (MK) tetap memperbolehkan eks narapidana kasus korupsi ikut pilkada, dengan catatan setelah lima tahun sejak keluar dari penjara.
Meski demikian, kata Bambang, PDIP tetap akan mengevaluasi keputusan MK tersebut.
"Partai punya rumah tangga sendiri. Boleh mengatur rumah tangganya sendiri. Kita ikuti rumusan MK. Putusan itu bersifat final dan mengikat," pungkasnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim MK yang dipimpin oleh Anwar Usman mengabulkan gugatan terkait batas waktu mantan narapidana untuk maju dalam pemilihan kepala daerah, Rabu (11/12).
Dalam putusan itu, majelis hakim memastikan perubahan dilakukan terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Sementara Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang ditetapkan pada 2 Desember 2019 dapat disusun kembali, menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Jika sudah ada putusan MK, peraturan teknis (PKPU) dapat disusun sesuai dengan putusan MK," kata Bahtiar di Jakarta, Rabu.
Hal itu, kata dia, cara menjadi penyelenggara negara yang benar. Bahwa dalam pembatasan hak seseorang, berdasarkan Pasal 28 J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, harus dilakukan melalui undang-undang, bukan melalui peraturan teknis.
Bahtiar mengatakan keputusan MK setingkat dengan UU dan bersifat final dan mengikat.
"Keputusan MK setingkat dengan UU dan sifatnya final dan mengikat. Jadi, tidak boleh membatasi hak warga negara hanya melalui atraksi rekayasa peraturan teknis yang melampaui UU atau sekadar membangun opini publik," ujar Bahtiar. (Ant)