Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengklaim, keputusan menempuh jalur hukum terkait pembakaran bendera partai sebagai bentuk pendidikan politik dan menjalankan proses demokrasi negara hukum.
"Sebagai bangsa yang menganut paham kekeluargaan, kami akan membuka pintu maaf apabila oknum-oknum yang telah membakar bendera partai kami dan memfitnah Ketua Umum PDI Perjuangan punya niat baik untuk mengakui kekeliruannya dan kesalahannya," ujar Ketua DPP PDIP, Ahmad Basarah, via keterangan tertulis, Jumat (26/6).
PDIP bagian dari Indonesia yang dimaksudkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945, khususnya yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, menjadi alasan lain "partai banteng moncong putih" menempuh jalur hukum.
"Kami meminta perlindungan hukum atas tindakan kekerasan dan berbagai fitnah yang telah dilakukan oleh oknum-oknum yang telah membakar bendera partai kami serta memfitnah dan merugikan nama baik Ketua Umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati Soekarnoputri," lanjutnya.
Saat demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (24/6), beberapa massa dari Persaudaraan Alumni (PA) 212 membakar bendera PDIP dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebagai partai yang sah serta memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dan 2019, bagi Basarah, pembakaran bendera itu membuat PDIP kecewa. Dalihnya, diperlakukan tidak adil dan tak berperikemanusiaan.
Meskipun diperlakukan demikian, sambung dia, keluarga besar PDIP meresponsnya dengan tegas dan arif bijaksana. Ditandai dengan terbitnya Perintah Harian Megawati agar para kader mawas diri dan tak terpancing provokasi atau adu domba serta menjaga persatuan.
"Bu Mega telah mengingatkan segenap kader PDI Perjuangan untuk memegang teguh Pancasila sebagai suluh perjuangan dalam menghadapi setiap ancaman dan masalah kebangsaan yang muncul," tutur Wakil Ketua MPR ini.
Menurut Basarah, perbedaan pendapat dan pandangan, termasuk pembahasan RUU, merupakan rahmat dalam negara demokrasi dan lumrah terjadi. Karenanya, regulasi memuat hak dan kewajiban masyarakat dalam menyampaikan kritik dan saran.
"Namun, yang tidak dibenarkan dan tidak kita kehendaki dalam pengunaan hak demokrasi tersebut jika dilakukan dengan cara kekerasan dan fitnah yang tidak dapat dibuktikan yang berpotensi menjadi suatu perbuatan tindak pidana dan dapat mengaburkan substansi permasalahan yang sedang kita bahas," paparnya.