Pertengahan Januari 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017. Majelis hakim konstitusi memaparkan bahwa konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensial ialah adanya kebutuhan untuk menyederhanakan jumlah partai politik.
Dalam konteks ini, rumusan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 merupakan dorongan agar partai yang memiliki platform, visi, atau ideologi yang sama untuk berkoalisi. Dari koalisi itu, diharapkan lahir koalisi permanen sehingga dalam jangka panjang diharapkan ada penyederhanaan partai secara alamiah.
MK menilai rumusan pasal 222 UU Pemilu dilandasi semangat penyederhanaan parpol. Alhasil, persyaratan minimum perolehan suara parpol atau gabungan parpol untuk dapat mengusulkan capres dan cawapres atau presidential threshold berarti memenuhi kondisi penguatan sistem presidensial yang dianut negara.
Putusan tersebut menuai reaksi dari sejumlah partai baru. Misalnya, Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq berharap UU Pemilu kedepan bisa memberikan keadilan bagi semua partai. Terlebih sebagai partai baru, dia berprinsip dengan semakin banyaknya calon pemimpin akan berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinan yang terpilih.
"Tidak boleh ada lagi pembatasan-pembatasan dalam pencalonan presiden. Prinsip kita adalah semakin banyak calon pemimpin, maka semakin berkualitas kepemimpinan itu,” terang Rofiq kepada Alinea.
Merujuk pada putusan MK tersebut, partai yang kini memiliki wakil di parlemen juga mulai berhitung untuk mencalonkan jagoannya di Pilpres 2019. Meski demikian, elektabilitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih mengungguli sejumlah nama yang digadang-gadang maju di Pilpres 2019. Dibandingkan dengan Prabowo Subianto yang memperoleh 18,4% misalnya, Jokowi unggul jauh dengan perolehan 44,9% berdasarkan survei Indo Barometer yang dilakukan pada 15-23 November 2017 lalu.
Bahkan, Indo Barometer juga melakukan simulasi apabila Pilpres 2019 hanya diikuti dua kandidat, yakni Jokowi versus Prabowo. Suami Iriana Jokowi itu tetap unggul dengan 50,9%, sedangkan Prabowo hanya mendapatkan 20,8%.
Adapun nama-nama lain seperti Anies Baswedan hanya mendapat 6%, Agus Harimurti Yudhoyono 3,5%, Gatot Nurmantyo 3,2% dan Jusuf Kalla hanya 1% jika dihadapkan dengan Jokowi.
“Terlepas perolehan kursi, partai juga melihat realitas di lapangan siapa yang didukung. Pada hari ini, tertinggi ada di Jokowi-Prabowo. Kemungkinan (Pilpres) mengerucut dua nama ini,” ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari saat berbincang dengan Alinea, Rabu (31/1).
Sedangkan survei Indikator pada 17-24 September 2017, juga menempatkan Jokowi di peringkat pertama dengan 34,2% dibandingkan Prabowo yang hanya memperoleh 11,5%.
Perebutan kursi Wapres
Sejak awal tahun 2017, poster Muhaimin Iskandar bertebaran di jalur pantai utara Jawa. Di dalam poster tersebut juga diselipkan kalimat bahwa sosok yang akrab disapa Cak Imin itu dianggap cocok untuk menjadi calon wakil presiden 2019. Apalagi, saat peresmian kereta bandara, Cak Imin tampak begitu akrab dengan Jokowi.
Namun, dalam survei Indo Barometer yang dilakukan akhir tahun 2017, justru tak muncul nama Cak Imin. Sedangkan di survei Indikator, hanya 1% responden yang menganggap Cak Imin cocok bersanding dengan Jokowi. Hal yang sama terjadi pada Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan dan cucu proklamator, Puan Maharani. Bahkan, tak ada responden yang memilih Ketua Umum PPP Romahurmuziy untuk mendampingi Jokowi.
Sebaliknya, sosok yang dianggap pantas mendampingi Jokowi pada survei Indikator ialah Basuki Tjahaja Purnama, Gatot Nurmantyo, dan Ridwan Kamil. Pada survei Indo Barometer juga menempatkan nama Gatot Nurmantyo dan Ridwan Kamil pada posisi kedua dan ketiga. Namun, di nama pertama, sosok Agus Harimurti menggeser sosok Basuki Tjahaja Purnama.
“Mungkin realistis, presiden mengerucut pada dua nama. Jadi positioning ke wakil itu bisa dipahami orang melihat realita di lapangan,” terang Qodari.
Sedangkan Anies Baswedan, dianggap sebagai sosok yang cocok bersanding dengan Prabowo untuk menantang Jokowi di Pilpres 2019. Qodari menyebut tidak akan ada calon tunggal pada Pilpres 2019.
“Dinamika yang terjadi Prabowo masih serius. Buktinya di Pilkada serentak ini dia sudah membangun koalisi Gerindra, PKS dan PAN. Komposisi di DPR, PKS dan Gerindra sudah pas, 20,1% untuk mencalonkan Prabowo,” tandasnya.