Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 pasal 78 menyebutkan, calon kepala daerah dapat diganti parpol pengusung jika telah dijatuhi pidana berdasar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sementara administrasi pencalonan tak terhenti, dan parpol tak bisa menarik dukungan pada calon yang baru ditetapkan tersangka. Konsekuensinya, barisan tersangka ini harus tetap maju dalam kontestasi pilkada.
Menurut catatan Alinea, terhitung tiga calon kepala daerah yang akan berlaga di pilkada 2018, ikut dalam pusaran korupsi. Mereka adalah Bupati petahana Ngada, sekaligus Calon Gubernur NTT Marianus Sae yang diusung PKB dan PDIP. Lalu Bupati Jombang, Jawa Timur Nyono Suharli Wihandoko, yang diusung koalisi Golkar, PKB, PKS, PAN, dan Nasdem. Terakhir, Bupati Subang Imas Aryumningsih yang diusung PKB dan Golkar. Kendati mereka harus mengikuti proses pemeriksaan di KPK, namun parpol pendukung masih getol melancarkan kampanye.
Hal yang sama juga terjadi pada pilkada tahun lalu. Saat itu diwarnai 10 kasus penetapan tersangka para kandidat kepala daerah. Dari 10 daerah ini, hanya empat kandidat yang ditetapkan sebagai jawara, satu sempat unggul dalam putaran pertama, sisanya keok.
Mereka yang akhirnya menang adalah calon Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun yang mengantongi suara 55,08% berbanding suara kotak kosong sebanyak 44,9%. Penetapannya sebagai tersangka suap Mahkamah Konstitusi pada 2011 tak menghalangi langkahnya menjadi Buton-1.
Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang berpasangan dengan Idris Rahim juga menang telak dengan suara 50,65%. Meski sebelumnya sempat divonis hukuman delapan tahun bui, dengan masa percobaan dua tahun, atas tuduhan pencemaran nama baik bekas Kapolda Gorontalo Budi Waseso. Namun, dia berhasil menumbang dua pesaingnya pada 2017 lalu.
Di Mesuji Lampung, Khamami, bupati petahana juga menang mutlak dengan perolehan suara 73,11%. Yang menarik, bupati ini telah dua periode dilantik KPU saat dia ditetapkan sebagai tersangka. Pertama dikaitkan dalam kasus money politic, kedua terkait dugaan kampanye colongan di luar waktu yang ditentukan.
Lalu Bupati Jepara Ahmad Marzuki juga dikabarkan menang dalam pilkada tahun lalu, dengan suara 51,25%. Dia tetap berlaga meski telah lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana Bantuan Politik (Banpol) PPP 2012-2013. Belakangan dia mengajukan pra peradilan di Pengadilan Semarang dan dikabulkan sehingga status tersangkanya gugur.
Fenomena kemenangan calon kepala daerah berstatus tersangka ini menuai respon dari pengamat politik UGM Ari Sudjito. Menurutnya, dari segi etika politik, pencalonan mereka jelas sangat mengusik khalayak. Apalagi dengan status tersangka yang disematkan pada mereka. “Namun lagi-lagi ini adalah problem nalar kritis masyarakat. Jika masyarakatnya kritis, maka calon yang korupsi atau pernah dipidana tentu tak akan dipilih. Kenyataannya, mereka tetap dipilih dengan berbagai argumen buta,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan nalar kritis masyarakat belum menjadi faktor penjegal tersangka yang berlaga di pilkada. “Banyak masyarakat berpikir pragmatis, karena terlanjur cinta ya sudah kepala daerah korup pun tak jadi soal,” imbuhnya.
Namun tak semua masyarakat sepragmatis itu. Buktinya di pilkada 2017 lalu, enam calon kepala daerah yang jadi tersangka, tamat. Bahkan ada yang elektabilitasnya merosot jauh, seperti yang terjadi di Cimahi yang mempermalukan Bupati petahana Cimahi Atty Suharti. Tersangka korupsi itu justru berada di posisi buncit dibanding para pesaingnya. Lalu di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan Amiri Aripin-Ahmad Toha juga kalah telak. Amiri sendiri terjerat kasus penipuan dokumen ijazah saat pencalonannya.
“Kalahnya calon kepala daerah yang tersangkut perkara hukum, sebenarnya adalah makanan lezat bagi pesaingnya. Tentu parpol atau kandidat lawan akan mengolah itu untuk dijadikan counter attack. Jika masyarakat kita jeli, maka mereka tentu akan bisa melihat ini. Jadi mau disokong partai besar atau kecil, perolehan suara bagi calon yang korupsi tentu akan berpengaruh. Entah menang tapi merosot, kalah telak, atau justru meningkat. Kalau meningkat, ini jadi anomali dalam dunia etika politik,” terangnya.
Terkait fenomena calon kepala daerah berstatus tersangka namun tetap dilantik KPU, hal itu pernah terjadi dalam pilkada 2015. Sebanyak empat kepala daerah dilantik dengan berstatus tersangka. Mereka Wali Kota Gunungsitoli (Sumatra Utara) Lakhomizaro Zebua, Bupati Ngada (Nusa Tenggara Timur) Marianus Sae, Bupati Sabu Raijua (Nusa Tenggara Timur) Marthen Dira Tome, dan Bupati Maros (Sulawesi Selatan) Hatta Rahman.
Di tahun-tahun sebelumnya, bahkan pelantikan dilaksanakan di penjara. Misalnya pelantikan Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih dan Bupati Mesuji, Lampung, Khamami. Hambit dilantik di Rutan Pomdam Guntur Jaya, Jakarta Selatan, dan Khamanik dilantik di LP Bawanglatak, Menggala.
“Dari segi aturan, memang itu diperbolehkan. Calon kepala daerah berstatus tersangka, terdakwa, atau terpidana, namun belum memiliki kekuatan hukum tetap, mereka bisa dilantik. Dia bisa dikeluarkan dulu dari penjara untuk dilantik lalu dimasukkan lagi ke penjara usai pelantikan. Memang ini jadi dilematis, ketika perkara hukum dan etika jadi berseberangan dan berjarak,” pungkas Ari.