Aroma permainan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batasan usia capres dan cawapres potensial membelit Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pakar hukum tata negara Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menilai Jokowi bisa dimakzulkan jika terbukti terlibat mengorkestrasi putusan tersebut.
"Dalam konteks kasus kemarin, kalau memang Presiden terlibat, maka Presiden dapat diduga melakukan perbuatan tercela, melakukan nepotisme sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 Undang-Undang 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU KKN)," ucap Feri kepada Alinea.id, Minggu (29/10).
Pertengahan Oktober lalu, MK mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal capres dan cawapres. MK menetapkan syarat pendaftaran capres-cawapres harus berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Putusan itu membuka jalan bagi putra tertua Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk melenggang menjadi pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Saat putusan itu diketok Ketua MK Anwar Usman, Gibran masih berusia 36 tahun. Ia baru dua tahun memegang jabatan jadi Wali Kota Surakarta.
Selain penuh kejanggalan, putusan itu juga dinilai sarat konflik kepentingan. Pasalnya, Anwar Usman saat ini berstatus besan Jokowi atau paman Gibran. Putusan itu ramai-ramai dikritik pakar tata negara, budayawan, ahli hukum, dan aktivis demokrasi. Di media sosial, MK bahkan kerap dijuluki 'Mahkamah Keluarga'.
Menurut Feri, presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Jika terbukti ikut cawe-cawe dalam skandal MK, Jokowi bisa dianggap melakukan perbuatan tercela. Hanya saja, proses pemakzulan harus atas usulan DPR. "Tidak mudah itu mengajukan usul dari DPR untuk impeachment," ujar Feri.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan putusan MK yang meloloskan Gibran telah mempertebal coreng di muka lembaga yang dianggap sebagai benteng konstitusi terakhir itu. Menurut dia, sebelum ada putusan itu, publik sudah kerap mempertanyakan kredibilitas hakim-hakim MK.
"Justru MK menjadi lembaga yang memunculkan distrust tinggi sekali di mata masyarakat. MK sudah kehilangan akal sehat dan memainkan akal bulusnya untuk meloloskan ambisi satu orang untuk kepentingan kelompok keluarga Presiden Jokowi," ujar Pangi kepada Alinea.id.
Dengan lahirnya putusan kontroversial itu, menurut Pangi, publik sulit untuk percaya bahwa Pemilu 2024 bakal berjalan jujur dan adil. Jika hasil pemilu berujung sengketa, Pangi mengatakan MK bisa langsung dituduh kongkalikong dengan salah satu kubu karena sudah terbangun persepsi menyalahgunakan wewenang sebelumnya.
"Jangan lupa! Pada tanggal 14 Februari (pencoblosan Pemilu 2024), Presiden Jokowi masih menjabat. Kendali penuh masih ada di tangan dia. Jadi, menurut saya, pemilu tidak akan berjalan fair. Ada potensi tergelincir ke abuse of power," ucap Pangi.
Misi sulit
Meskipun punya dasar regulasi, pakar hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah berpendapat pemakzulan Jokowi bakal sulit dicapai. Sebagaimana ketentuan pada Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, pemakzulan harus terlebih dulu diusulkan DPR ke MK. Itu pun minimal disepakati sebanyak 384 anggota DPR.
"Ini yang sulit atau bahkan hampir mustahil jika melihat angka-angka di atas kertas. Minimal dua per tiga dari total 575 anggota DPR sekarang ini. Berarti butuh kurang lebih 384 anggota DPR untuk mengaktifkan pengajuan pendapat DPR ke MK," kata Herdiansyah kepada Alinea.id.
Pasangan Prabowo-Gibran saat ini diusung empat partai penghuni parlemen, yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Gabungan empat parpol itu menguasai sebanyak 261 kursi anggota DPR.
Jika koalisi itu solid, Herdiansyah mengatakan pemakzulan hanya bakal jadi wacana yang bakal menguap begitu saja. Namun, tak tertutup kemungkinan salah satu partai di dalam koalisi Prabowo-Gibran hengkang dan ikut dalam barisan parpol yang mendukung pemakzulan Jokowi.
"Kecuali koalisi pecah, mungkin ceritanya berbeda. Kalau memang serius, bukan cuma gimmick, setidaknya partai-partai di luar koalisi Jokowi, usaha dulu. Jangan pesimis dengan angka-angka di atas kertas," kata Herdiansyah.