Kasus-kasus pembubaran acara diskusi dan aksi protes lewat intimidasi dan kekerasan oleh "orang-orang tak dikenal" kian marak. Teranyar, sekelompok orang membubarkan acara diskusi bertema "Silaturahmi Kebangsaan Diaspora Bersama Tokoh dan Aktivis Nasional" salah satu hotel di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Diskusi yang digelar pada akhir September itu diniatkan sebagai forum silaturahmi dan tukar pikiran mengenai kondisi kebangsaan dan kenegaraan jelang pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Namun, diskusi yang dihadiri tokoh-tokoh dari berbagai bidang itu batal digelar karena intimidasi sekelompok preman.
Dalam sebuah siniar di Youtube, pakar hukum tata negara Refly Harun--termasuk salah satu peserta diskusi--mengungkap kronologi pembubaran paksa diskusi tersebut. Secara khusus, Refly menyoroti kehadiran "kepala preman" berambut kuncir yang memimpin operasi pembubaran diskusi tersebut.
Tanpa merinci, menurut Refly, si rambut kuncir itu pernah hadir dalam acara politik sebuah parpol. Saat membubarkan acara diskusi tersebut, Refly mendengar sang kepala preman mengaku mendapat perintah dari atasan.
"Kita enggak ngerti, ya, kok dia bisa ada di sana (acara parpol)? Artinya, ini bukan preman sembarangan. Akan tetapi, tentu kita tidak mengatakan bahwa partai politik tersebut terlibat. Tidak demikian," ujar dia.
Polisi telah menetapkan dua orang tersangka yang berinisial FEK dan GW dalam kasus pembubaran paksa diskusi itu. Keduanya dikenakan pasal berlapis terkait pengeroyokan, pengrusakan, dan penganiayaan.
Intimidasi serupa juga dirasakan para peserta aksi unjuk rasa Global Climate Strike atau Jeda Iklim di Taman Menteng, Jakarta Pusat pada 27 September 2024. Berdasarkan kesaksian peserta, tindakan intimidasi terjadi sejak persiapan aksi damai tersebut.
Semula seseorang yang bukan peserta aksi tiba-tiba berorasi memuji pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sekitar pukul 13.30 WIB, intimidasi secara terang-terangan pun terjadi. Sejumlah orang merampas properti aksi seperti poster, pengeras suara, hingga patung manekin Jokowi. Aparat kepolisian yang berjaga hanya diam saja.
Penjegalan diskusi dalam bentuk berbeda dirasakan aktivis Indonesia Corruption Watch (Watch). Diskusi bertajuk "Marah-Marah kepada Private Jet dan Fufufafa" dibatalkan oleh manajemen kafe Kala di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan, Kamis (12/09).
Manajemen kafe berdalih ICW tidak mengantongi izin yang diperlukan untuk menggelar diskusi di lokasi tersebut. Selain itu, pihak manajemen menilai diskusi yang digelar rawan menimbulkan gangguan keamanan.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menduga ada kerja sama antara aparat keamanan dan kelompok preman dalam pembubaran diskusi-diskusi bertema kritis terhadap pemerintah. Aparat, kata dia, tak langsung menindak pelaku karena ingin lepas dari risiko pelanggaran hak asasi manusia.
"Ada semacam modus atau pola yang kami lihat dalam berbagai pemberangusan. Kami duga preman-preman (digerakan) untuk menyerang dan membubarkan diskusi. Banyak juga isu-isu dan temuan-temuan para peneliti, (bahwa situasinya) ini sudah mirip paramiliter," ucap Isnur kepada Alinea.id, Rabu (2/10).
Jauh sebelumnya, intimidasi verbal dan fisik juga menimpa peserta diskusi Forum Air Rakyat yang berlangsung di Hotel Oranjje, Denpasar, Bali pada 20-21 Mei 2024. Diskusi-diskusi itu digelar bertepatan dengan acara World Water Forum ke-10.
Pola pemberangusan kebebasan sipil dengan menggunakan preman atau kelompok paramiliter, kata Isnur, berbahaya lantaran berpotensi memicu konflik horizontal antar masyarakat sipil. "Karena aparat ingin menghindari tuntutan hukum atau pemidanaan oleh aparat," imbuh Isnur.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat menilai upaya-upaya negara pembungkaman terhadap masyarakat sipil sudah mulai terasa intens sejak dua tahun terakhir. Ia meyakini situasinya akan terus memburuk pada era pemerintahan Prabowo Subianto.
"Apa yang menjadi problem ini (pembubaran-pembubaran diskusi) akan menjadi preseden buruk di ruang publik berikutnya, baik dalam bentuk diskusi, menyampaikan petisi, menyampaikan pendapat atau opini di ruang publik dan di media sosial," ucap Rakhmat kepada Alinea.id, Rabu (2/10).
Menurut Rakhmat, otoriterianisme bakal menguat dalam lima tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Semua aktivis "oposisi", baik di level gerakan mahasiswa, intelektual, akademisi maupun gerakan rakyat harus berkonsolodasi dan membentuk peta jalan untuk berhadapan dengan rezim Prabowo ke depan.
"Masyarakat sipil punya momentum bagus saat aksi menolak revisi Undang-Undang Pilkada. Simpul-simpul gerakan ini harus sudah mulai ditata ulang supaya tidak tercerai-berai dan tidak tersubordinasi kepentingan pragmatis. Saya percaya gerakan sipil masih ada yang independen," ucap Rakhmat.