Pemerintah menegaskan tidak ada tebang pilih atau diskriminatif dalam penegakan hukum terhadap ulama. Ulama yang dihukum memang terbukti melanggar undang-undang.
“Tak ada kriminalisasi ulama di Indonesia sebab selain ikut mendirikan Indonesia dulu, saat ini para ulama lah yang banyak mengatur, memimpin, dan ikut mengarahkan kebijakan di Indonesia,” kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD kepada wartawan, Sabtu (26/12).
Pernyataan Mahfud itu menepis tudingan penegakan hukum di Indonesia diskriminatif. Misalnya, anggota DPR Fadli Zon merespons laporan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI), Munarman, yang ditolak polisi. Dia menyebut penolakan tersebut bukti diskriminasi hukum. Menurut politikus Gerindra itu, polisi tidak boleh menolak laporan masyarakat.
Sementara menurut praktisi hukum Muannas Alaidid, polisi tentu punya pertimbangan menolak laporan dari Munarman.
"Karena laporan terhadap Munarman belum diperiksa, Munarman juga belum dipanggil. Jadi kalau belum bisa diterima, waktunya memang belum tepat, bukan diskriminasi hukum," tambahnya.
Sedangkan Mahfud MD mencontohkan kasus Abu Bakar Ba’asyir di mana pengadilan membuktikan Ba'asyir secara sah dan meyakinkan terlibat terorisme. Ia divonis Mahkamah Agung yang saat itu dipimpin Bagir Manan yang juga dikenal sebagai tokoh Muslim.
Kasus lainnya adalah penganiayaan oleh Bahar Bin Smith dan kasus Rizieq Shihab. Bahar dinilai terbukti melakukan penganiayaan berat, sedangkan Rizieq jadi tersangka tidak ada kaitannya dengan sikap dia yang selalu mengkritisi pemerintah.
Artinya, jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, penegakan hukum tidak melihat siapa orangnya dan latar belakangnya.
“Tetapi karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana umum,” pungkas Mahfud.