Pemilu 2024 dan percikan bara konflik di tanah Papua
Papua potensial kembali membara jelang Pemilu 2024. Jika tidak diantisipasi serius, konflik-konflik dan keributan terkait pemilu bisa meluas dan kembali memicu "perang" antara warga sipil dan aparat keamanan. Alarm tanda bahaya konflik itu setidaknya telah "berbunyi" setelah dua kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Bumi Cenderawasih terbakar.
Awal Agustus lalu, kantor KPU Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan "gosong" setelah mengalami kebakaran hebat. Berselang sekitar dua pekan, giliran kantor KPU Kabupaten Jayapura di Sentani yang dilalap api. Dalam kedua kasus itu, polisi setempat belum mengungkap penyebab kebakaran.
Data Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan Papua memang kerap panas jelang pemilu. Pada 2013 atau jelang Pemilu 2014, misalnya, jumlah konflik di Papua meningkat hingga 70%. Jelang Pemilu 2019, kenaikan jumlah konflik sebesar 21%. Per 31 Oktober 2023, terjadi kenaikan angka konflik hingga sebesar 52%.
Peneliti utama pada Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengatakan konflik-konflik yang meletus di tanah Papua umumnya tak terkait pemilu. Namun, bukan berarti bahaya konflik terkait pemilu pun wajib diwaspadai pemerintah, penyelenggara pemilu, dan aparat keamanan.
Pengawasan pemerintah dan penyelenggara pemilu, menurut Cahyo, terutama harus diperketat di Provinsi Papua Tengah dan Pegunungan Tengah. Kedua wilayah itu rawan konflik. Penjabat gubernur di provinsi itu harus dipastikan netral dan tidak memanipulasi suara agar tidak memicu keributan masif.
"Selain itu, mereka harus membangun jalur komunikasi dialog secara informal maupun secara beradab melalui tokoh-tokoh masyarakat. Dialog juga harus dilakukan kepada mereka yang oposisi, seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), faksi-faksi Operasi Papua Merdeka (OPM). Harus merangkul semua pihak," kata Cahyo kepada Alinea.id, Rabu (15/11).
Secara khusus, Cahyo mengingatkan pentingnya menjaga sistem noken tak dimanipulasi. Sistem pemilihan tradisional itu umumnya masih dipraktekkan oleh mayoritas suku yang tinggal kawasan Papua Tengah dan Pegunungan Tengah.
"Itu (noken) hasil musyawarah oleh kepala suku atau orang yang dituakan. Nah, pejabat gubernur itu harus memastikan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan tidak ada penggelapan suara dan manipulasi suara," ucap Cahyo.
Gugus Tugas Papua UGM mencatat ada 348 kasus kekerasan di Papua dan Papua Barat pada 2010-Maret 2022. Jumlah kasus kekerasan meningkat tajam dalam tiga tahun terakhir, yakni 65 kasus pada 2020, 83 kasus pada 2021, dan ada 17 kasus pada 3 bulan pertama 2022. Kasus-kasus kekerasan rawan Kabupaten Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak, Mimika, Nduga, dan Yahukimo.
Cahyo mengatakan jumlah konflik di Papua meningkat tajam sejak 2016. Mayoritas konflik terkait eksploitasi sumber daya alam dan perebutan kuasa terhadap daerah pertambangan. Selain itu, ada pula konflik-konflik yang dipicu minimnya pelibatan masyarakat setempat dalam pembangunan ekonomi dan infrastruktur.
"Selain itu, pengerahan aparat TNI dan Polri juga menjadi faktor yang memperburuk konflik di Papua. Presiden Jokowi sendiri sangat bergantung pada aparat keamanan.Artinya, dia bergantung pada kepolisian dan TNI sebagai penyangga keamanan untuk mengeksekusi kekuasaannya," kata Cahyo.
Khusus untuk perebutan kuasa pertambangan, Cahyo menyinggung kriminalisasi terhadap aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Keduanya kini menghadapi ancaman hukuman bui hingga 4 tahun lantaran dianggap mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Haris dan Fatia dilaporkan karena menuding Luhut punya bisnis di Blok Wabu, eks lahan tambang milik PT Freeport. "Dalam penelitiannya, Haris Azhar dan Fatia itu mengatakan ada keterlibatan oknum menteri dan jenderal untuk menguasai Blok Wabu," ujar Cahyo.
Faktor pemicu konflik lainnya ialah keputusan pemerintah pusat memekarkan wilayah Papua. Menurut Cahyo, kebijakan pemekaran itu umumnya diambil pemerintah pusat tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat secara serius. "Pemerintah hanya melibatkan kelompok yang pro pemekaran," kata dia.
Saat ini, ada tiga daerah otonomi baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Resmi beroperasi sejak November 2022, ketiga provinsi itu masih dipimpin oleh pelaksana jabatan gubernur yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Pemetaan dan langkah antisipasi
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah sudah memetakan titik-titik rawan konflik di Papua Tengah dan Pegunungan Tengah jelang Pemilu 2024 dan Pilkada Serentak 2024. Langkah-langkah antisipasi sudah disiapkan untuk merespons kemungkinan terjadinya konflik.
"Kami sudah memiliki data daerah mana saja yang merah. Kami sudah merancang antisipasi untuk mewaspadai itu. Tentu saja pendekatan itu bukan hanya sekadar pendekatan keamanan saja, tapi juga pendekatan hukum harus kami tegakkan," kata Jaleswari kepada Alinea.id, Rabu (15/11).
Tanpa merinci, Jaleswari menyebut daerah zona merah di Papua bakal dijaga ketat oleh aparat Polri untuk mencegah percikan-percikan bara konflik membesar dan meluas. Berbarengan dengan itu, pemerintah juga menjalankan pendekatan kultural dan sosial kemasyarakatan lewat kolaborasi dengan tokoh gereja, tokoh adat, dan kelompok perempuan.
"Semua ini untuk supaya kita bersama-sama menjaga proses pemilu. Demokrasi adalah kita. Artinya, tidak hanya dimiliki oleh pemerintah saja. Tetapi, semua stakeholder juga harus ikut mengamankan," kata Jaleswari.
Pemilu sebagai tradisi demokrasi baru di Indonesia, kata Jaleswari, harus dijaga agar tidak dibajak segelintir pihak. Ia mengutip para pakar politik yang menyebut demokrasi Indonesia bakal matang setelah 7 kali pemilu. "Saat ini sudah mau kelima. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjaganya," imbuh dia.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, Senayan, Jakarta, Senin (13/11), calon Panglima TNI Agus Subiyanto mengatakan akan menjalankan pendekatan smart power untuk memastikan stabilitas keamanan di Papua terjaga sepanjang Pemilu 2024.
Pendekatan smart power, kata Agus, ialah kombinasi hard power, soft power dan diplomasi militer. Adapun yang dimaksud hard power versi Agus adalah pendekatan keamanan dalam rangka penegakan hukum. Diplomasi militer dipakai untuk menyamakan persepsi prajurit TNI terhadap Papua.
"Sementara, soft power adalah pendekatan diplomasi dan sinergi membangun kesejahteraan di Papua. Pendekatan soft power tersebut, secara bersama-sama bersinergi antara TNI dan semua kementerian lembaga dan kementerian terkait,” kata dia.