close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Jamak pelanggaran netralitas oleh aparatur negara pada Pemilu 2024. Ini seperti temuan Singkap sepanjang Mei-November 2023. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Jamak pelanggaran netralitas oleh aparatur negara pada Pemilu 2024. Ini seperti temuan Singkap sepanjang Mei-November 2023. Alinea.id/Oky Diaz
Politik
Senin, 04 Desember 2023 22:51

Pemilu 2024: Jamak aparatur negara langgar netralitas

Berdasarkan kajian Singkap pada Mei-November 2023, terjadi 59 kasus penyimpangan aparatur negara dengan 65 tindakan.
swipe

Koalisi NGO untuk Keadilan Pemilu (Singkap) menemukan terjadinya penyimpangan aparatur negara dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ini berdasarkan laporan yang dikumpulkan dan divalidasi dengan teknik triangulasi pada Mei-November 2023.

Rentang periode tersebut, Singkap mendapati 59 kasus penyimpangan aparatur negara dengan 65 tindakan. Kasus adalah penyimpangan yang terjadi pada ruang dan waktu tertentu, sedangkan tindakan merupakan aktivitas penyimpangan yang dilakukan pelaku tertentu.

Dari 59 kasus itu, pelanggaran terbanyak berupa pelanggaran netralitas dengan 32 kasus. Lalu, kecurangan pemilu 24 kasus dan pelanggaran profesionalitas 3 kasus.

"Tiga tindakan penyimpangan yang paling banyak dilakukan adalah dukungan ASN kepada kontestan tertentu, yaitu sebanyak 40 tindakan; dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu, dalam 7 tindakan, dan kampanye terselubung, yaitu 4 tindakan," tulis Singkap dalam laporannya.

Berdasarkan institusinya, penyimpangan terbanyak dilakukan aparatur sipil negara pemerintah kabupaten (ASN pemkab) dengan 10 tindakan. Kemudian, kepala desa, anggota kepolisian, dan kepala dinas (kadis) masing-masing 5 tindakan; guru 4 tindakan; camat, menteri pertahanan, dan lurah masing-masing 3 tindakan; serta presiden, penjabat gubernur, penjabat bupati, TNI, dan ASN pemerintah kota masing-masing 2 tindakan.

Kontestan nomor urut 2 pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menjadi kandidat yang paling diuntungkan. Pangkalnya, 21 kasus terjadi akibat berpihak kepada jagoan Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu.

Ini berbanding terbalik dengan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau Amin karena masing-masing diuntungkan dalam 7 kasus dan 2 kasus. Adapun 13 kasus lainnya dari total 43 kasus yang menguntungkan kandidat nonpartai politik (parpol) menguntungkan calon legislatif (caleg) tingkat DPRD (8 kasus), DPD (3 kasus), dan DPR (2 kasus).

Sementara itu, 13 kasus lainnya menguntungkan sejumlah parpol, yakni Partai Golkar 4 kasus, Partai Amanat Nasional (PAN) 3 kasus, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai NasDem masing-masing 2 kasus, dan Partai Demokrat 1 kasus. Sebesar 1 kasus lainnya tidak spesifik.

Bagi Singkap, temuan-temaun tersebut menunjukkan situasi negatif dan destruktif bagi demokrasi. "Ini merupakan wake-up call kepada penyelenggara pemilu, aparat pengawas intern pemerintah (APIP), masyarakat sipil, dan publik secara umum untuk lebih pro aktif dalam melakukan pemantauan."

Data itu, khususnya pelanggaran netralitas dan kecurangan, juga menunjukkan rendahnya kesadaran aparatur negara menaati regulasi. Di sisi lain, menggambarkan kuatnya intensi menginstrumentasi aparatur negara dalam melanggar aturan.

Makna berikutnya, aparatur negara secara masif dan terbuka menggunakan segala cara dalam menyalahgunakan otoritas dan sumber daya yang melekat, baik pribadi maupun kelembagaan, melalui pemihakan kepada kontestan tertentu.

Presiden harus bersikap

Terpisah, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyesalkan masih terjadinya pelanggaran netralitas oleh aparatur negara, yakni ASN, TNI, dan Polri. Padahal, regulasi sudah secara jelas dan tegas mengaturnya.

Sekretaris Jenderal KIPP, Kaka Suminta, pun mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan mengatasi masalah ini. Apalagi, TNI dan Polri bertanggung jawab kepada kepala negara.

"Karena nama institusi sudah disebut, ya, harus bukan sekadar mengklarifikasi, tapi mengidentifikasi apakah dugaan itu benar," katanya kepada Alinea.id, Senin (4/12).

Untuk pembuktiannya, menurut Kaka, bisa dimulai dari laporan masyarakat atau temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Adapun institusi lain perlu melakukan audit internal.

Lebih jauh, ia menyampaikan, pelanggaran netralitas akan berbahaya bagi pelaksanaan demokrasi ke depannya sebab membuat pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, KIPP juga mendorong Bawaslu profesional dalam menjalankan tugas.

"Penyelenggara pemilu dituntut jauh lebih independen dibandingkan dengan lembaga lain karena sebelum ranah pidana, ranah etik saja sudah ada hukumannya," tegasnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan