Peneliti BRIN sebut pemeriksaan etik bentuk pembungkaman
Biro Organisasi dan Sumber Daya Manusia (SDM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memanggil sejumlah peneliti untuk diperiksa lantaran melanggar kode etik. Diduga, para peneliti ini dipanggil karena terlalu vokal di media.
Berdasarkan surat panggilan yang beredar, surat pemanggilan yang bersifat rahasia itu diteken oleh Kepala Biro Organisasi dan SDM BRIN, Ratih Retno Wulandari.
Di Twitter, sejumlah akun menyebut jika pemanggilan tersebut merupakan upaya pembungkaman terhadap peneliti yang menyuarakan ketidakberesan manajemen BRIN. Bahkan, ada yang menyebut jika ada peneliti yang tunjangan kinerjanya (tukin) dipotong.
Peneliti BRIN, Akhmad Farid Widodo, mengaku telah mendengar informasi tersebut. Menurutnya, para peneliti yang dipanggil rata-rata karena bersikap kritis di media.
"Yang dipanggil peneliti-peneliti lain yang kritis di media sosial," kata Farid saat dihubungi Alinea.id, Kamis (2/3).
Farid mengatakan, tidak tahu persis apa yang dituduhkan Biro Organisasi dan SDM BRIN kepada sejawat penelitinya itu. Kendati demikian, pemanggilan tersebut tidak wajar, janggal dan subyektif.
Sebab, pemeriksaan etik tanpa diawali dengan teguran terlebih dahulu. Padahal, kata dia, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021, harus adanya pembinaan berjenjang dari atasannya langsung.
"Di Perka BRIN kan surat pemanggilan tertulis pasal dan nomor kode etik yg dilanggar. Di situ tidak ada, hanya ucaran kebencian. Ini kan subjektif. Lalu saya dengar juga sebelumnya tidak diawali dengan teguran atau pembinaan dari atasannya namun langsung di sidang etik," ujar eks peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu.
Selain itu, lanjut Farid, peneliti yang dipanggil merupakan peneliti-peneliti muda. Dia menyatakan, pemeriksaan etik membuat pegawai BRIN takut bersuara ataupun menyampaikan kritik terkait kebijakan BRIN.
"Dampakya adalah ketakutan kolektif pegawai-pegawai BRIN menyampaikan kritik atau memberikan partisipasi kebijakan BRIN. Sehingga kepemimpinan BRIN menjadi tidak mempunyai penyeimbang dan pada akhirnya menciptakan iklim otoritarian di lingkungan BRIN," tuturnya.
Sementara, Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, menilai Peraturan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nomor 76 Tahun 2022 tentang Disiplin dijadikan sebagai alat untuk untuk membungkam sikap kritis peneliti dan ilmuwan.
Menurutnya, peraturan tersebut merupakan bentuk otoritarianisme Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, dalam mengelola lembaga yang dipimpinnya. Padahal, prinsip dasar dan karakter para peneliti adalah kritis dan penuh rasa ingin tahu.
"Sikap kritis para ilmuwan dan peneliti adalah hal yang lumrah. Sejak dulu, para peneliti politik LIPI kritis di media terkait perpolitikan Tanah Air," ujarnya dalam keterangannya, Kamis (2/3).
Mulyanto menegaskan, munculnya berbagai sikap kritis para peneliti pascapeleburuan berbagai lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi BRIN adalah bentuk ketidakpuasan terhadap lembaga. Pun di dalamnya termasuk tata kelola dan pimpinan.
Dia menilai, munculnya sikap kritis beberapa peneliti dan ilmuwan BRIN tidak lepas dari berbagai masalah yang adalah. Misalnya, banyak rencana penelitian yang dibatalkan karena tidak tersedia anggaran dan proses restrukturisasi belum tuntas, sehingga penelitian terhambat bahkan dibatalkan.
"Secara umum, peneliti lebih silent ketimbang para guru yang ekspresif. Jadi, kondisi hari ini mencerminkan suasana kebatinan para peneliti yang galau," ucapnya.
Di sisi lain, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko sebelumnya mengatakan akan memanggil periset BRIN yang menyampaikan berbagai persoalan lewat media. Pemanggilan, kata Handoko, bertujuan untuk menanyakan langsung apa keluhan periset dan mengapa tidak menyampaikan secara terbuka kepadanya.
Menurutnya, periset yang dipanggil tidak akan dimutasi atau diberhentikan. Maksud pemanggil tersebut hanya sekadar untuk menyampaikan persoalan yang dialami dan mencari jalan keluar bersama.
"Tidak ada mutasi. Selama ini tidak pernah terjadi. Dipanggil ya untuk tanya problemnya apa. Kalau yang tidak sebut nama ya saya anggap gak ada problem," ujar Handoko dalam konferensi pers BRIN, Jumat (20/2).
Handoko mengatakan bahwa peneliti itu harus egaliter. Persoalan atau kendala yang dialami bisa disampaikan secara langsung maupun lewat ponsel. Sehingga, dirinya bisa mengetahui dan kemudian mengevaluasi persoalan tersebut.
Dia menegaskan bahwa bagi periset yang mengkritik kebijakannya tanpa menyebut nama di media, lantas tidak akan ditanggapi. Baginya kritikan seperti itu tidak perlu dipersoalkan.
"Kalau tidak ada nama saya anggap gak ada problem. Tidak ada masalah apa-apa," ujar dia.
Menurut Handoko, yang mengkritik tanpa menyebutkan nama bisa saja hanya berdasarkan pada suka dan tidak suka. Sementara, apa yang dikritik belum tentu bisa dipertanggungjawabkan.