Peneliti CSIS nilai putusan PN Jakpus kacaukan konstruksi hukum sengketa pemilu
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam putusannya, PN Jakarta Pusat menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024.
Putusan PN Jakarta Pusat ini menuai sorotan nasional, lantaran dinilai akan berimbas pada mundurnya pelaksanaan pemilu serentak pada 2024. Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, memandang putusan tersebut mengacaukan konstruksi hukum terkait pemilihan umum.
"Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut telah mengacaukan konstruksi hukum di dalam bidang kepemiluan, khususnya dalam sengketa administrasi hukum," kata Nicky dalam forum diskusi daring yang disiarkan melalui YouTube CSIS Indonesia, Jumat (3/3).
Nicky menuturkan, sengketa perihal tahapan pemilu, khususnya terkait administrasi, sejatinya telah diatur dalam Undang-undang Pemilu. Prosedur mengenai sengketa dalam tahapan pemilu telah diatur melalui upaya administratif atau juga upaya hukum.
Ada pun hal yang mendasari diajukannya gugatan terhadap KPU adalah Partai Prima merasa dirugikan dalam verifikasi administrasi. Menurut dia, putusan hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak mencerminkan dasar-dasar hukum yakni wajar dan rasionalitas.
"Jadi yang tadinya ini adalah isu administrasi, lalu dibawa ke dalam kasus perdata, dan putusannya menimbulkan dampak konstitusional. Ini adalah di luar kewajaran dan rasionalitas," ujar dia.
Menurut Nicky, ada beberapa hal yang mendasari mengapa pelanggaran administratif dan sengketa proses pemilu diatur sedemikian rupa dalam mekanisme khusus di Undang-undang Pemilu.
"Pertama, karena pemilu ini bagian dari hak warga negara yang mengerakkan struktur negara hukum demokratis, sehingga menghasilkan kekuasaan yang legitimasi. Maka pemilu harus dilaksanakan secara profesional, akuntabel, dan tepat waktu," tutur Nicky.
Selain itu, Nicky menilai pemilu merupakan suatu ekosistem yang beroperasi sesuai hukum yang mendasarinya. Dalam hal ini, putusan PN Jakarta Pusat dinilai melangkahi batasan yurisdiksi lembaga lain yang berwenang dalam bidang kepemiluan.
"Jadi apabila kita lihat putusan yang kemarin, pada dasarnya kan salurannya kalau enggak Bawaslu, PTUN. Tetapi digeser ke pengadilan negeri. Karena ekosistem pemilu adalah aspek integral dari negara hukum demokratis, maka selalu ada batasan yurisdiksi organ atau lembaga negara. Ini yang dilangkahi," papar dia.
Menurut Nicky, putusan PN Jakarta Pusat terkait perkara ini bisa saja diabaikan lantaran dianggap melampaui batasan yurisdiksi lembaga yang berwenang. Dalam artian, KPU sebagai pihak tergugat tetap melaksanakan tahapan pemilu sesuai jadwal hingga pemilihan serentak berlangsung 2024 mendatang. Namun, hal ini juga memiliki kelebihan maupun kekurangan.
"Ini akan menjadi kontra narasi juga pada pihak yang memang mendukung penundaan ini, dianggap tidak menghormati putusan pengadilan. Tetapi kalau menurut saya, mengabaikan juga bisa karena sebagai bentuk protes bahwa putusan ini tidak seharusnya terjadi seperti ini," ucap Nicky menerangkan.
Nicky memandang, persoalan ini seharusnya dikembalikan kepada aturan yang tercantum dalam Undang-undang Pemilu, khususnya terkait penundaan pemilu. Terlebih berdasarkan Pasal 431-433 UU Pemilu, kata Nicky, penundaan pemilu hanya bisa diterapkan bila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
"Kita harus kembali ke aturan mainnya, Undang-undang Pemilu. Karena dengan menghormati aturan main, maka pemilu yang profesional, akuntabel, dan tepat waktu bisa diselenggarakan," ujar Nicky.
Pada Kamis, 2 Maret 2023, PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima yang dilayangkan pada 8 Desember 2022 terhadap KPU dengan nomor registrasi 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Dalam amar putusannya, majelis hakim PN Jakarta Pusat telah memutus agar KPU untuk tidak melanjutkan tahapan pemilu 2024 dan kembali melaksanakan tahapan pemilu awal.
"Mengadili, menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini dibacakan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari," demikian poin ke lima dari amar putusan tersebut.
Menanggapi riuhnya respons publik atas putusan tersebut, pejabat humas PN Jakarta Pusat Zulkifli Atjo, mengatakan majelis hakim tidak menyatakan untuk menunda pemilu dalam amar putusan.
Disampaikan Zulkifli, putusan yang disampaikan majelis hakim telah melalui proses-proses pembuktian selama persidangan. Menurutnya, putusan itu disampaikan secara terbuka sehingga masyarakat luas bebas menanggapi atau menafsirkan putusan majelis hakim.
"Jadi mengenai apakah itu menunda pemilu, itu ya silakan diartikan. Tapi itulah amar putusan yang dikeluarkan oleh PN Jakpus. Boleh publik mengatakan itu melanggar apa segala macam enggak ada masalah, karena itu memang konsumsi publik. Putusan itu terbuka untuk umum," kata Zukifli kepada wartawan di PN Jakarta Pusat, Jumat (3/3).
Selain itu, apabila ada pihak yang tidak setuju atas putusan hakim, maka dapat menempuh upaya hukum melalui banding.
"Tentunya berdasarkan undang-undang, apabila ada pihak yang tidak menerima putusan ini, dapat menyatakan banding upaya hukum 14 hari setelah amar putusan dibacakan," ujar dia.