Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, mengungkapkan perannya ketika terjadi kerusuhan pada Mei 1998. Dalam peristiwa itu, Wiranto mengaku jika dirinya bukanlah dalang terjadinya kerusuhan pada waktu itu.
Pada 13 Mei 1998 pagi, Wiranto mengisahkan, terjadi penembakan di Trisakti. Selanjutnya di siang hari kerusuhan berlanjut di Jakarta. Puncak kerusuhan pun terjadi pada keesokan harinya atau 14 Mei 1998. Pada malam itu, Wiranto lantas mengerahkan pasukan dari Jawa Timur ke Jakarta dan sejumlah kota lainnya. Sehari setelah pengerahan pasukan itu, Jakarta diklaimnya langsung aman. Begitu pun di seluruh wilayah Indonesia.
Lebih lanjut, Wiranto mengatakan, meski dirinya memiliki peluang untuk melakukan kudeta, namun itu tak dilakukannya. Alasannya, ia mencintai Indonesia. Karena itu, ia ingin mengubah negeri ini menjadi lebih baik bersama teman-teman reformasi lainnya.
“Tidak ada sama sekali keinginan, kehendak, tindakan saya yang mengarah pada langkah-langkah untuk mengacau pada tahun 1998," kata Wiranto di Jakarta pada Selasa, (26/2).
Wiranto membuka kembali perbincangan mengenai kerusuhan 1998 untuk menjelaskan kepada publik agar tidak ada tuduhan lagi kepadanya. Selama ini, dia mengaku hanya diam terkait persoalan tersebut. Namun hal itulah yang justru dijadikan oleh pihak lain untuk menyerangnya, terutama di saat masuk momentum politik.
Pada masa Pilpres 2004 dan 2009 misalnya, Wiranto menyebut, dirinya kerap disangkutpautkan dengan peristiwa kerusahan 1998. Ketika masa-masa tersebut Wiranto mengaku kerap menjadi pihak yang dituduh oleh lawan politiknya. Namun demikian, ia tak heran jika tuduhan-tuduhan itu muncul menjelang pilpres.
Karena itu, ia pun menantang bekas Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zein untuk melakukan sumpah pocong. Tujuannya, untuk membuktikan pihak yang terlibat sebagai dalang kerusuhan Mei 1998.
“Apakah 1998 itu yang menjadi bagian dari kerusuhan itu saya, Prabowo, Kivlan Zein, sumpah pocong kita, siapa yang sebenarnya dalang kerusuhan itu,” kata Wiranto.
Sebelumnya, dalam sebuah acara di Jakarta pada Senin (25/2), Kivlan Zein menuduh Wiranto sebagai dalang kerusuhan 1998. Wiranto disebut Kivlan memainkan peranan ganda dan isu propagandis saat masih menjabat sebagai Panglima ABRI. Tujuannya ketika itu untuk menumbangkan Presiden Soeharto.
"Saya buka sekarang, yang bersangkutan (Kivlan) pernah meminta uang kepada saya dan saya berikan. Dulu saya diam-diam saja, tapi sekarang saya buka biar jelas masalahnya. Jangan asal menuduh saja,” ujarnya.
Kepada Kivlan Zein, Wiranto mengaku merasa kasihan karena dia kerap menyampaikan pernyataan-pernyataan yang keliru dan tidak sesuai fakta. Padahal, Tim Gabungan Pencari Fakta kasus 1998 sudah mengantongi bukti-bukti valid, bahwa Wiranto mengklaim dirinya tidak terlibat terkait kerusuhan itu.
"Karena tidak lagi melihat kenyataan yang sudah beredar di masyarakat, fakta-fakta yang beredar, termasuk TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) itu produknya ada, dari sana sudah jelas, 1998, itu sumber kerusuhan mengarah kepada institusi mana? Sudah mengarah figur-figur mana, ada itu," ujar Wiranto.
Selaku panglima ABRI pada peristiwa 1998, Wiranto menilai bahwa dirinya sudah melakukan berbagai langkah edukatif, persuasif, dan dialogis dengan sejumlah tokoh reformasi agar tidak muncul kekacauan dan kerusuhan nasional yang akan merugikan Indonesia.
"Bukan saya sebagai dalang kerusuhan, saya mencegah kerusuhan terjadi dan ternyata tiga hari saya sudah mampu mengamankan tensi ini," katanya.
Wiranto pun menegaskan agar tidak ada yang coba-coba mengacaukan negara dan keamanan jelang pilpres dan pileg pada 17 April 2019. Dia mengaku akan mengerahkan seluruh pasukan TNI dan Polri untuk melakukan pengamanan guna meminimalisir kerusuhan jelang pemilu. Ia berharap dengan klarifikasi ini dapat meredakan informasi-informasi sesat yang ada di masyarakat.
"Moga-moga dengan penjelasan saya ini hoaks dan tuduhan-tuduhan tidak berdasar bisa kita eliminasi," kata Wiranto.