Pemilihan presiden (Pilpres) 2024 diyakini akan diwarnai dengan calon dari oligarki. Jika itu terjadi, akan berdampak buruk bagi kelangsungan demokrasi di tanah air. Apalagi ada kecenderungan calon presiden oligarki akan banyak melakukan pencitraan.
“Rekam jejak dalam memimpin suatu provinsi merupakan suatu modal. Baik bagi Anies, Ganjar, dan siapapun. Kalau misalkan rekam jejak dalam memimpin suatu provinsi lebih banyak kontroversi, lalu dipaksakan menjadi calon pilpres, ini menjadi pertanyaan. Jadi saya katakan, capres oligarki ini akan menjadi boneka, dan tidak prokepada rakyat, dan hanya prokepada kepentingan asing," kata pengamat politik Muslim Arbi, dalam diskusi online yang dipantau Kamis (3/11).
Dia mencontohkan proyek kereta cepat Jakarta ke Bandung. Proyek itu diduga bukan untuk rakyat. Begitu juga proyek membangun berbagai ruas jalan tol yang membutuhkan biaya mahal tetapi malah dijual murah.
Sementara rakyat hanya diiming-imingkan oleh BLT (bantuan langsung tunai). Bahkan pemprotesan kenaikan harga BBM pun cenderung didiamkan.
"BLT hanya dikasih Rp600.000 dan hanya sekali, akan tetapi penderitaannya berkepanjangan. Ini bukan prorakyat. Ini bukan kepentingan rakyat. Itu kepentingan oligarki. Itu masalahnya," ucap dia.
Namun, dia berkeyakinan rakyat semakin cerdas. Tetapi, harus tetap membangun kesadaran rakyat menjelang pelaksanaan Pilpres 2024. Tidak boleh lagi memilih presiden boneka. Sebab presiden seperti itu hanya melakukan oligarki atau kepentingan tertentu.
Makanya pentingnya publik paham akan bahaya capres didanai kelompol oligarki. Awal Pemilu 1955, bebas dari gurita dan cengkeraman oligarki. Namun hal itu, jauh berbeda dengan pesta demokrasi pemilu belakangan ini.
"Kita lihat rekam jejak dari capres ini. Apakah capres ini betul-betul prorakyat? Kita kan bisa melihatnya sendiri. Tetapi kalau capresnya pencitraan. Saya bisa katakan capres itu oligarki,” tuturnya.