Setelah kalah di Mahkamah Konstitusi (MK), Prabowo Subianto dan Gerindra disarankan menjadi oposisi dan tak masuk kabinet.
Narasi bergabungnya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ke dalam barisan partai pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin menguat pascaputusan MK. Memang, MK tak mengabulkan permohonan gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan kubu Prabowo-Sandi.
Pengamat politik Eksposit Strategic Arief Susanto mengungkapkan, bukan suatu hal yang mudah bagi Jokowi untuk melakukan negosiasi atau bagi-bagi jabatan dengan partai opososi. Sebab, dia menilai Jokowi bakal dihadapkan dengan suatu hal dilematis, yakni antara stabilitas politik dan menjaga keutuhan koalisi.
Arief menjelaskan, jika Jokowi bersikeras memasukkan Prabowo dan Gerindra ke barisan koalisinya, maka Jokowi terancam mendapat tekanan politik yang besar dari partai koalisi yang sejak awal mendungkungnya.
"Karena sudah pasti masuknya Gerindra itu akan mengusik kepentingan partai koalisi, terkait kursi jabatan menteri. Atau jabatan pemerintahan yang lain," katanya saat berbincang dengan reporter Alinea.id di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Jumat (28/6).
Arief menjelaskan, akan sulit bagi Jokowi untuk membagi porsi kekuasan dengan para partai pendukungnya jika Gerindra masuk ke barisan pemerintah. "Apalagi setiap partai memasang target tertinggi di pemerintah. Bayangkan Gerindra baru diisukan masuk saja sudah minta (jatah) dua kursi menteri, karena kemungkinannya dapat satu (kursi)," katanya.
Hal serupa juga disampaikan Jerry Sumampouw koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI). Dia memandang keinginan Jokowi mengajak Gerindra ke barisan pemerintah hanya karena khawatir periode pemerintah selanjutnya terganggu dengan eskalasi politik dari kubu oposisi. "Jadi dia takut periode selanjutnya tak stabil," katanya.
Oposisi 20 tahun
Sebaliknya, suara berbeda diungkapkan oleh pengamat politik Lingkar Madani, Ray Rangkuti. Dia memperkirakan Jokowi sudah tak memiliki ketertarikan mengajak Prabowo ke barisan pemerintah semenjak putusan MK.
"Sebab saya melihat pasca-MK, pengaruh Prabowo terhadap pendukungnya sudah berkurang. Lihat saja statemen dari para pendukungnya. Lagi pula geliat protes itu sudah menurun. Jadi saya rasa Jokowi sudah tak begitu ingin Prabowo bergabung," katanya.
Ray justru melihat, Prabowo lah yang memiliki hasrat untuk bergabung. Sebab, sudah menjadi oposisi hampir lebih dari 15 tahun. "Kalau oposisi lagi ya, 20 tahun kalau dari era SBY jilid pertama," katanya.
Baik Arief, Jerry dan Ray, menyarankan, agar Jokowi tak memasukkan partai Gerindra dan partai oposisi yang lain ke barisan partai pemerintah. Hal itu dilakukan agar budaya oposisi dapat terbangun secara berimbang. "Selain itu juga untuk menjaga kepentingan partai pendukung yang dari awal sudah mendukung. Jadi sudahlah, kalau dia enggak kerja, jangan diajak masuk ke pemerintahan," kata Ray.
Lagi pula, Arief menambahkan, meski negosiasi akan melahirkan stabilitas, namun hal itu tak akan menjamin efektivitas dalam pemerintahan. "Sebab kalau kita lihat era SBY, justru di periode kedua dia malah yang tidak efektif, karena saking banyaknya mengakomodir kepentingan," katanya.
"Kita bisa saja merasakan stabilitas paling hanya satu atau dua tahun. Tahun ketiga kita akan merasakan gejolak politik lagi, karena kepentingan Pilpres lagi, jadi stabilitas itu tak menjamin efektivitas," katanya.
Kendati demikian, Arief mengungkapkan, bagi-bagi kursi jabatan di pemerintahan bukanlah satu-satunya cara untuk melakukan rekonsiliasi dengan opososi. Menurut Arief ada banyak alternatif yang dapat di ambil Jokowi untuk menjaga tensi politik dengan opososi.
"Salah satu caranya misalnya, untuk tahun 2020 kan ada pemilihan kepala daerah. Nah, bisa saja Gerindra dan PDIP atau partai koalisi Jokowi itu berkoalisi di wilayah tertentu untuk mendukung calonnya. Atau memetakan mana daerah yang mesti dimenangi itu saja. Jadi cara rekonsiliasi untuk meredam konflik tak mesti bagi-bagi kursi menteri," katanya.