Peneliti Politik Eksposit Strategic Arief Susanto meminta semua pihak mengambil pelajaran dari pertarungan Pilpres 2019, yang dianggap telah mengesampingkan etika berbangsa dan bernegara, sehingga memicu kekacauan antar sesama.
Setidaknya semua pihak terutama elite politik yang menjadi oposisi memiliki adab saat menyampaikan kritik ke pemerintah, sebab konflik yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari narasi kebencian yang dilakukan elite politik.
"Oposisi merupakan keniscayaan dalam negera demokrasi, namun kritik yang disampaikan tetap harus konstruktif dan tak ditujukan untuk mendelegitimasi lembaga negara," tutur dia.
Pertarungan pilpres kemarin, dinilai sangat kentara terjadi delegitimasi lembaga negara. Lembaga negara menjadi korban dari pertarungan Jokowi dan Prabowo, yang dampaknya membuat orang tidak percaya dengan lembaga seperti KPU, Bawaslu bahkan Mahkamah Konstitusi.
Itulah sebabnya para elite harus mengubah sudut pandangnya mengenai makna oposisi. Ia mengajak agar ke depan elite lebih mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dibanding mendelegitimasi lembaga negara.
"Saya mendorong agar oposisi menggeser orientasinya dari menjatuhkan. Hampir nyaris tidak ada oposisi yang cukup sabar bermain dengan agenda kebijakan. Supaya mereka bisa panen lima tahun kemudian. Itu tidak dilakukan oposisi saat ini," tuturnya.
Jika tidak segera dilakukan, dia khawatir menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia, sebab akan banyak merugikan banyak pihak, terutama masyarakat.
Boleh saja jika elite oposisi mengkritik Jokowi, tetapi jangan sampai mendelegitimasi lembaga negara, karena hanya melahirkan kekecauan seperti yang terjadi pada pilpres kemarin.
"Bayangkan kalau orang sudah tidak percaya dengan MK, tidak percaya dengan institusi kepolisian, tidak percaya institusi negara, kan gawat itu," katanya.